Penulis: Penulis: Imani – UNJ
Sial. Sial, sial, sial, sial. Terkutuklah beban-beban bersama yang hanya menumpangkan namanya di tugas kelompok. Memangnya hanya mereka saja yang punya kehidupan masing-masing? Aku pun punya kesibukan sendiri, tapi tugas sekolah sudah menjadi tanggung jawabku sebagai siswa. Ya… Walaupun bukan termasuk siswa teladan atau aktif organisasi, setidaknya aku tidak melupakan tugas-tugasku dan membebankannya ke orang lain. Aku tahu diri ya.
Suara langkah kakiku yang berat adalah satu-satunya hal yang menemaniku berjalan di koridor asrama yang sepi ini. Dalam hati kurapalkan kata-kata makian yang sudah sejak tadi kupendam dalam-dalam. Nasib baik mereka satu kelompok dengan aku yang sungkanan ini, kalau tidak habis mereka kumaki-maki di depan murid lainnya yang berlalu lalang. Tidak baik juga sih, seharusnya aku juga bisa lebih tegas ke mereka agar setidaknya mereka jera. Toh, pada akhirnya hanya akulah satu-satunya yang menanggung tugas proyek yang ribet bin sulit itu.
Ah!! Cukup! Lebih baik aku segera menyelesaikan ritual sebelum tidurku agar bisa cepat-cepat istirahat daripada mengisi pikiranku dengan para beban kelompok itu.
Di malam itu ketika aku bergegas untuk membasuh badan… pict by canva.com
“Sarah?”
Suara lembut yang familiar memecahkan lamunanku, membawaku kembali pada alam sadar di mana aku kini sedang berada di tengah-tengah koridor. Aulia kini berdiri tepat di depanku, mendekap kitab tebal serta tempat tulis biru kesayangannya dengan matanya yang nampak bingung menatapku dari atas ke bawah. Bola mata cokelatnya berhenti tepat pada gayung yang berisi alat mandi di tanganku, tampak jelas di mataku akan ke mana arah pembicaraan ini berlanjut.
“Mau mandi?” Pertanyaannya kujawab dengan anggukan kepalaku, yang malah membuat dahinya mengerut heran. “Jam segini?”
“Pusing aku Sar, habis ngerjain tugas Bu Tria yang ribetnya nggak ngotak itu. Mau nyegerin kepala.” Aku menghela napasku kasar, memutar bola mataku malas. “Tambah lagi anak kelompokku yang … Yah, gitulah.”
Aulia mengangguk paham. “Oh … Tapi kamu nggak takut?” Menoleh ke kanan, ke kiri, Aulia berjalan mendekat ke arahku sambil berbisik. “Itu … Kamu pasti tahu cerita itu kan?”
Kali ini aku yang mengerutkan dahi bingung, menatap Aulia dengan pandangan bertanya-tanya. Tentu saja aku tahu cerita itu yang dia maksud, tapi aku cukup terkejut seorang Aulia yang terkenal dengan imannya yang kuat dan jarang terpengaruh hal-hal berbau mistis malah mengingatkanku tentang hal ini. “Ya … Baru kabar burung, ‘kan? Lagian yang nyeritain si Tasya ini, tau sendiri dia kalo ngomong banyak bohongnya.”
Terdiam, lagi-lagi Aulia hanya mengangguk paham. Kali ini dia terlihat pasrah, antara ia tahu ke mana ujungnya pembicaraan ini dengan aku yang keras kepala atau terlalu lelah untuk berdebat denganku. Matanya yang kini mulai setengah terbuka berusaha menatapku lurus, sebelum akhirnya ia menepuk bahuku. “Oke, hati-hati ya.”
Malam pun semakin gelap dan menyeramkan, pict by pixabay.com
Tepat setelah itu Aulia berjalan menjauh, meninggalkanku sendirian berdiri di tengah-tengah koridor asrama. Aneh, apa maksudnya coba “hati-hati”? Tanpa berpikir lama-lama lagi, langsung saja kubawa langkah kakiku menuju kamar mandi. Harus cepat selesai, karena kalau boleh jujur saat ini nyawaku sudah setengah naik menuju ke alam mimpi. Tidak yakin juga dinginnya air di malam hari akan membangunkanku sepenuhnya karena, yah … Melawan kantuk adalah kelemahan terbesarku.
Mungkin karena tengah, suasana kamar mandi yang biasanya ramai akan santri yang mengantri mandi atau mencuci baju kini sangatlah lengang. Lagipula, orang konyol mana yang mau mandi di jam-jam segini? Aku, dan orang di balik salah satu bilik tertutup yang suara guyuran airnya memecah keheningan malam. Nampaknya ide konyol mandi di tengah malam tidak hanya terpikirkan olehku, membuatku terkekeh geli sembari memasuki salah satu bilik kosong tepat di sebelah bilik yang terisi itu.
Baju-baju gantiku sudah kugantung di gantungan balik pintu, tak lupa dengan baju yang saat ini sedang kugunakan. Langsung saja aku mengguyur kepalaku yang panas dengan air yang segarnya membuat beban pikiranku meluap. Memang, tidak ada yang bisa menggantikan nikmatnya mandi malam sebelum pergi ke pulau kapuk. Mengeringkan tanganku terlebih dahulu, aku merogoh saku bajuku untuk mencari sampo saset yang tadi aku minta ke Dyah—teman sekamarku. Mataku terbelalak saat menyadari benda kecil satu itu tidak ada di kantong bajuku, membuatku harus merogoh semua saku pakaian yang kubawa. Saku gamis, celana, piyama, yang kutemukan hanyalah bungkus permen yang lupa kubuang setelah kelas sore.
Bodoh, mana rambutku sudah terlanjur basah pula dengan air. Satu-satunya harapanku adalah sampo yang sebenarnya sudah habis tanpa sisa. Mataku kini mendarat ke botol sampoku yang masih eksis di dalam gayungku selama dua minggu ini, tidak pernah kubuang meskipun isinya sudah tidak ada eksistensinya. Mungkin, mungkin saja, aku masih bisa mengais sisa-sisa sampo dengan cara kuno turun-temurun yang masih dan selalu digunakan oleh kaum kantong tipis akhir bulan. Langsung saja kuraih sampo itu dari gayung, mengisinya dengan air setengah botol dengan harapan semoga masih ada sisa yang bisa kugunakan setidaknya hanya untuk malam ini.
Setelah mengocok botol sampo, bukan, botol air itu untuk beberapa saat, langsung saja kutuangkan isinya ke atas kepalaku. Ingin menangis rasanya saat yang kurasakan hanyalah air yang mengguyur kepalaku. Tidak ada sensasi dingin dan aroma stroberi dari sampo kesayanganku, hanya air tak berbau yang mengguyur kepalaku yang sudah basah ini. Sial. Bisa-bisanya barang berharga seperti itu malah kuhilangkan di saat-saat aku membutuhkannya.
Air pun mengguyur keras, pict by pixabay.com
Malam semakin bertambah malam, lagi-lagi hanya suara guyuran air dari bilik sebelah yang menemaniku di saat aku sedang putus asa seperti ini. Ditambah lagi sekarang suara tokek terdengar sangat jelas sekali di telingaku, seakan-akan mengejek kebodohanku yang memutuskan untuk mandi malam tanpa persiapan penuh. Bisa saja aku saat ini langsung ke tahap sabunan saja, sikat gigi dan cuci muka sebelum mengakhirinya dengan membalut diriku dengan piyama gantiku. Hanya saja, aku tidak mau rambutku nantinya malah jadi bau dan gatal karena kebodohanku yang memutuskan untuk keramas tanpa sampo. Tidak, tidak akan.
Niat hati mau memperbaiki suasana hati, malah tambah hancur seperti ini karena sampo.
Saat aku sedang kalut dalam emosiku yang memuncak, semerbak bau melati seketika memenuhi hidungku. Aromanya cukup menenangkan, membuatku lupa sesaat bahwa amarahku sudah hampir berada di puncaknya jika tidak mencium aroma melati yang sepertinya berasal dari bilik kamar mandi sebelahku. Tidak ada lagi suara guyuran air, digantikan oleh suara senandung merdu nan pelan yang perlahan menghipnotisku, membuatku benar-benar melupakan segala kesialan yang menimpaku malam ini.
Bel tak kasat mata dalam pikiranku berbunyi, memberiku sinyal bahwa aroma melati yang kini memenuhi bilik kamar mandiku yang kecil ini adalah aroma yang cukup familiar di otakku. Aroma melati yang sangat kuat, yang baunya pernah memenuhi kamar asramaku di malam hari saat semua orang sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Bulu kudukku merinding, mengingat jelas aroma apa yang saat ini tengah berkeliaran di sekitarku.
“Permisi, mba.” Dengan wajah sumringah, aku menujukan panggilanku untuk orang yang sedari tadi mandi di bilik sebelah. Jantungku berdegup kencang, rasa-rasanya seperti ia ingin meloncat dari dadaku.
Kenapa aroma sampo melati semakin tercium? pict by pixabay.com
Tidak ada jawaban. Panggilanku hanya dibalas dengan sunyinya malam dan senandung lembut yang masih ia nyanyikan. Otakku malah mengingatkanku pada sebuah kalimat “diamnya perempuan berarti iya”, seakan-akan membarikanku sinyal untuk melanjutkan perkataanku kepada orang di balik bilik sebelah. Lagipula, dia pasti tahu persis kalau hanya ada kami berdua yang mengisi bilik-bilik kamar mandi, apalagi sedari tadi tidak ada suara orang yang datang. Mungkin ia sedang menungguku melanjutkan kalimat. “Mbaknya lagi pake sampo yang lagi rame itu bukan? Yang harganya pricey itu.”
Ya, tidak salah lagi, aroma yang saat ini kucium sama persis dengan sampo melati yang pernah Gita tunjukkan ke anak kamarku. Saat itu ia habis keramas, dan aroma sampo melatinya cukup membekas di kamarku cukup lama hingga pagi datang. Tentu saja aku dan teman-temanku penasaran apa yang ia gunakan, ternyata sampo aroma melati yang harganya cukup membuat dompet anak rantauku menjerit. Tidak kusangka orang di sebelahku ini sepertinya tengah menggunakan sampo melati itu, ditambah ternyata aku tidak bawa sampo milikku sendiri. Mungkin ini cara Tuhan memberikanku kesempatan untuk bisa mencoba sampo yang baru bisa kubeli dari hasil menabungku tiga bulan.
“Aku boleh minta samponya nggak, mba? Maaf banget kalo lancang, sampoku ketinggalan soalnya …”
Hening. Pertanyaanku kini dijawab hening. Udara malam dan suasana kamar mandi yang lembab entah kenapa malah membuat bulu kudukku berdiri. Merinding, ya. Aku lebih baik mendengar suara orang di sebelah menggumamkan lagu daripada harus terjebak dalam sepinya malam. Menggelengkan kepala, aku berusaha menghapus kemungkinan-kemungkinan buruk yang muncul di kepalaku. “Boleh nggak—”
Suara tertawa tersebut membuatku terhenyak? pict by pixabay.com
Suara kekehan dari bilik sebelah membuatku menggantukan kalimatku, entah kenapa suara itu malah membuat lidahku kelu dan sulit sekali untuk bisa menelan ludah. Mataku memandang ke arah celah kosong yang membatasi bilikku dengan bilik sebelah, menunggu dengan was-was apa yang akan orang itu katakan selanjutnya. Kekehan berubah menjadi tawa, tawa melengking yang mengirimkan sinyal waspada pada otakku.
“Maaf ya, dek.” Dia masih tertawa melengking. “Lagian aku ndak ada sampo dek, wong aku aja ndak punya kepala.”
Saat itu juga jantungku seakan-akan berhenti berdetak sejenak, ditambah kakiku yang lemas tidak bisa bergerak dengan pikiranku yang sudah buyar entah ke mana. Dengan gerakan perlahan, masih lemas akan jawaban yang kuterima barusan, aku langsung mengeringkan badanku asal. Tidak peduli baju gantiku yang baru basah karena air yang tidak sepenuhnya hilang dari tubuhku, setidaknya aku bisa segera pergi dari sini saat ini juga. Suara tawa melengking itu masih berdering di kepalaku, bahkan setelah aku menginjakkan kaki keluar dari kamar mandi. Tawanya seakan-akan mengejekku, ditambah suaranya yang berulang-ulang kali menyebut kata “sampo” hingga aku benar-benar meninggalkan kamar mandi masih menghantui pikiranku.
Yah, sepertinya Tasya kali ini tidak bohong.
**
Terinspirasi dari kisah nyata.
*****
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.