Penulis: Endah Romadhon – UNJ
Cinta? Tidak sepertinya aku belum bisa menamai perasaan ini cinta. Terlalu cepat untuk mengatasnamakan perasaan ini dengan kata cinta karena cinta terlalu kuat untuk perasaan ini. Mungkin saja perasaan ini baru dapat kubilang suka karena baru ada perasaan sedikit menggelitik setiap kali bertemu dan sedikit membuatku penasaran akan dirinya.
Aku sepertinya suka atas perhatian dan perilakunya yang selalu membantu dengan tulus saat aku sedang terluka atau sedang merasa kesulitan. Gestur tubuh yang selalu sigap dan mata yang awas saat memperhatikanku sehingga membuatku bertanya-tanya akan perasaanku seperti ini. Aku harap esok-esok perasaan ini semakin jelas.
Aku rasa sepertinya akan segera bertemu dengannya karena saat ini di tengah kerumunan mahasiswa di kantin kampus, tanganku sudah tersiram kuah panas soto yang dipegang oleh orang di depanku dan segelas minuman matcha-ku yang jatuh di lantai sudah menandakan kondisiku yang tidak dalam keadaan baik. Mungkin saja secara tidak langsung menandakan dia akan datang, karena dia selalu ada saat aku sedang begini, aku sangat berharap dia ada.
“Ya ampun maaf kak, aku gak sengaja. Aku kedorong sama orang dari belakangku.” Panik orang itu seraya berusaha memegang tanganku untuk dielapnya.
Rasa marah sebenarnya sudah tidak bisa kubendung lagi, rasa panas, dan perih tanganku juga membuat suasana hati makin buruk. Namun, apa yang bisa kulakukan sekarang, aku tak mau menjadi tontonan lebih untuk para mahasiswa lainnya.
“Yaudah lain kali hati-hati.” kubalas sesingkat dan sesinis mungkin untuk menunjukan kemarahanku.
Kumelangkah pergi dari kantin untuk mencari kamar mandi atau keran terdekat dari kantin setidaknya itulah niatku sesampai tiba-tiba ada yang menepuk pelan bahuku dan memanggilku.
“Hei, tunggu.” Kutolehkan pandangku ke arahnya melihat siapa yang memanggil. Dia ternyata dia yang ada di hadapanku sekarang. “Hai, daripada jauh-jauh ke kamar mandi mending langsung siram pake air botolan ini.” Kumelihat dia menyodorkan sebotol air mineral dari tangannya.
Aku mengangguk menyetujuinya, tak butuh berpikir panjang untuk menerima bantuannya. Tanganku langsung dicucurkan air dari botol tersebut. “Oke, sudah tersiram rata. Nah, bagaimana tanganmu?”
“Sudah lebih baik tidak sepanas tadi, tapi ya perih aja.”
“Kalau begitu kita ke klinik fakultas kita aja, buat beli obat salep.”
“Gak usah! maksudku aku bisa ke sana sendiri. Jadi, kamu bisa lanjutin lagi kegiatanmu.” Ucapku sedikit panik karena ajakannya yang mendadak.
“Tidak apa lagian aku juga sedang kosong, kelasku cuma satu aja dan itu pun tadi kelas pagi. Jadi, sekarang ayo.” Senyum tipisnya mengakhiri ucapannya seraya berjalan sedikit lebih dulu dari diriku, tapi aku tahu sesekali dia melirik ke arahku.
Setelah sampai di klinik dan mendapatkan obat salep yang dicari kami duduk di bangku terdekat untuk mengobatiku. “Ini salepnya, mau kamu pakai sendiri atau mau aku bantu sekalian?” Ucapnya dengan senyum manisnya sambil menyerahkan salep yang ada di tangannya.
Bangku terdekat yang dipakai keduanya (sumber: canva.com)
“Tidak usah, aku bisa memakainya sendiri.” Aku segera mengambil dan membuka salep itu dengan terburu.
“Hahahaha gak usah sampe buru-buru gitu juga kali.” Aduh bahaya sekali sekarang dia malah tertawa membuat hatiku menggelitik dan mata ingin terus menatapnya.
“Ya gapapa cepet diobatin biar cepet sembuhnya dong.” Dia hanya tersenyum tipis mendengar responku. “Tapi bukankah ini aneh?”
“Aneh kenapa?”
“Aneh saja setiap aku kesulitan atau sedang terluka kamu selalu ada di dekatku dan menolongku.”
“Emang iya ya?”
“Iya tau kayak baru minggu lalu aku jatuh karena terdorong orang di parkiran pas mau ambil motor atau gak beberapa waktu lalu aku jatuh di depan ruang dosen dan ya masih banyak lagi.”
“Hmm iya benar juga ya.”
“Hahaha iya kan aneh banget bisa kebetulan gitu ya?”
“Kebetulan? Menurutmu itu kebetulan semata?” bagiku pertanyaan yang baru saja ia katakan begitu aneh.
“Iya bukannya memang seperti itu?” kutatap matanya berusaha mencari maksud dirinya, tapi aku tak bisa menemukannya dan ia malah menatap lurus ke arah jalanan di depannya.
“Kamu tahu? Di antara orang-orang yang aku kenal hanya kamulah yang bisa menahan marah atau frustasi ketika terluka dan kesulitan.” Sekarang dia menatapku dengan dalam seperti ingin melihat diriku lebih jauh. “Hanya kamu tidak ada yang lain.”
“Sebenarnya yang pengen kamu omongin apa sih aku gak ngerti.” Jujur rasa nyaman yang biasanya aku rasakan atau setidaknya itulah perasaan yang biasa aku buat, sekarang entah sudah menghilang ke mana. Tak nyaman. Menakutkan.
“Semua kejadian itu tak ada yang kebetulan.”
“Maksudmu?”
“Kamu selalu terluka karena orang lain dan sebelumnya kamu tak pernah terluka sesering itu kan?”
Semua ucapannya benar, aku memang menyadarinya karena selama hidup 21 tahun aku tidak pernah merasa seceroboh itu bahkan aku tidak sesering itu terluka, tapi setelah bertemu dengannya anehnya aku selalu terluka.
“Aku menyukaimu amat sangat suka. Aku suka saat kau terluka, aku suka saat kau frustasi, dan aku suka saat kamu dengan mudah memaafkan mereka. itu menarik sangat menarik.” Ia tersenyum bahkan tertawa kecil.
Aku menatap matanya, menggeleng sekuat tenaga menolak perasaannya. Suka? Cinta? Aku tidak mau! Aku tidak mau suka dengan dirinya apalagi cinta kepadanya. Aku menolak semua rasa ini. Aku harap perasaan ini segera memudar dan menghilang selamanya. Aku tak mau dengan si sinting ini!
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.