Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta
Seorang pengemudi ojek online bertemu Damar, pedagang ayam bakar yang curhat tentang restorannya yang mendadak sepi. Damar mengungkapkan kecurigaan bahwa restoran sebelah menggunakan penglaris, ilmu hitam yang menuntut tumbal untuk kesuksesan.
Di tengah dinginnya malam di pusat kota, aku masih berkeliling mencari penumpang. Setelah beberapa saat, notifikasi dari aplikasi ojek online berbunyi. Pesanan tersebut masuk dengan titik jemput di alun-alun kota dan tujuan ke arah pinggiran kota. Setelah sampai, seorang pria muda yang tampak lelah menyapaku. Aku memanggilnya Damar, seorang pedagang yang baru saja menutup restorannya.
“Pulang kerja, Mas?” tanyaku, mencoba memecah kesunyian malam yang anehnya terasa lebih berat dari biasanya.
“Oh, enggak. Lagi nganggur, saya,” jawabnya dengan suara serak.
Damar bercerita, baru saja ia menutup restorannya yang belum lama berdiri. “Dulu responnya bagus. Ayam bakar resep keluarga, khas kampung halaman. Tapi tiba-tiba aja, restoran sepi,” katanya, suaranya hampir berbisik.
Katanya, sepinya pengunjung itu bukan sepi biasa. Dalam satu hari, pernah tidak ada satu pun orang yang datang. Padahal restoran itu letaknya strategis, di area ramai. Yang lebih membuat Damar bingung, setiap pengunjung yang lewat mengira restorannya tutup, padahal lampu-lampu menyala terang.
“Apa ada kemungkinan karena restoran sebelah?” Di sebelah restoran Damar memang ada sebuah restoran ayam goreng terkenal. Meski menunya berbeda, persaingan tetap terasa.
Damar menceritakan bahwa di sebelah restorannya ada pedagang ayam goreng terkenal, dan ia mulai merasa curiga. Setiap hari, ada orang yang meletakkan tanah kuburan di depan pintu masuknya. Ia merasa persaingan ini bukan hanya tentang rasa makanan, tetapi ada hal mistis di baliknya. Aku tercekat. Tanah kuburan adalah simbol yang tidak main-main dalam kepercayaan banyak orang. Seperti menaruh tanda kutukan.
“Bukan mau berprasangka buruk, Mas. Tapi saya tahu mereka itu pake penglaris,” kata Damar sambil menoleh, memastikan bahwa kami benar-benar sendirian di jalan malam itu. Ia lalu mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan: pemilik restoran terkenal itu, sebut saja Andi, adalah kerabat jauhnya.
Damar menceritakan sesuatu yang menggetarkan. Katanya, pemilik restoran itu menggunakan penglaris yang sangat kuat, sampai pendapatannya bisa mencapai jutaan per hari. Namun, penglaris seperti itu tentu tidak murah. Tumbalnya? Anak sulung Andi.
Anak itu, katanya, kini hanya terbaring di kamar, tak bergerak dan tak bersuara. Keluarganya mengatakan dia sakit, namun tak ada yang tahu jenis penyakitnya, dan dokter tidak bisa menjelaskan.
“Kata orang, kalau penglarisnya belum dipuaskan, tempat itu bakal kena musibah. Saya takutnya malah yang lebih parah terjadi,” ujar Damar lirih.
Aku hanya bisa mendengarkan dengan perasaan tak menentu, merasakan kegelisahan yang samar-samar menjalari malam itu. Aku berusaha menenangkan Damar. “Mungkin ini pertanda. Bisa jadi rezeki Mas ada di tempat lain,” jawabku sambil memberikan helmnya kembali setelah sampai di tujuan.
Tak lama setelah itu, berita menggemparkan tersebar. Restoran terkenal itu terbakar hebat, katanya dari ledakan di dapur. Berita itu cepat menyebar di media online, dan ingatanku segera terbang kembali ke percakapan dengan Damar. Apa yang ia katakan malam itu benar-benar terjadi. Musibah telah menimpa tempat itu.
Cerita Damar tetap membekas di pikiranku. Aku tak tahu pasti apakah ini kebetulan atau bukan, namun satu hal yang terasa nyata, kadang ada hal-hal yang tak bisa kita jelaskan, yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan dan dinginnya malam.
*****
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.