Penulis: Andi Audia Faiza Nazli Irfan – Universitas Hasanuddin
Buku Who Moved My Cheese oleh Spencer Johnson diterbitkan pada 1998. Buku pengembangan diri ini menggunakan cerita dalam cerita melalui. Aspek pengembangan diri dinarasikan melalui empat tokoh, yaitu dua tikus dan dua kurcaci.
Penulis membawa situasi “menolak perubahan” karena takut berubah di dalam cerita tikus-kurcaci itu. Semakin penting sesuatu itu, semakin ingin sesuatu itu kita pertahankan. Padahal, kita bisa berubah saat terjadi perubahan. Kita bisa beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di depan. Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap kondisi lingkungan yang baru.
Perubahan dianggap mengarahkan ke hal yang tidak sesuai ekspektasi atau tidak sesuai keinginan. Oleh karena hal yang tidak diharapkan dan tidak dikira, orang-orang menganggap perubahan itu buruk.
Who Moved My Cheese (Spencer Johnson)
Anggapan perubahan itu buruk semestinya ditinggalkan, penulis mengharapkan pembaca mulai beranggapan perubahan itu baik sehingga ada arah yang jelas. Hal itu dapat tercipta jika kita beranggapan dengan perubahan, kita bisa menemukan dan menikmati hal baru yang positif.
Dalam dunia yang dinamis, relatif, dan pergerakannya cepat, kita perlu belajar mengatasi perubahan. Pembaca disarankan untuk menyederhanakan sesuatu (tidak menganggapnya berat atau sulit terlebih dahulu), lalu coba meluweskan diri dan bergerak terhadap perubahan.
Tikus Sniff dan Scurry menunjukkan mindset fleksibel dan cepat beradaptasi. Ketika keju mereka hilang, mereka langsung bergerak mencari keju baru tanpa banyak berpikir. Ini menggambarkan pentingnya sikap proaktif dan siap beradaptasi ketika perubahan terjadi.
Rasa takut mempermainkan kita, seperti sebenarnya kita bisa melakukan suatu hal, tetapi karena takut, kita seperti ragu dan dan bimbang. Tanda bisa atau tidak kita menghadapi suatu hal tersebut kemudian kabur. Kita kemudian mungkin pasrah dengan keadaan.
Perasaan terlalu takut membuat kita tertekan. Pikiran kemudian dihantui berbagai overthinking yang membuat kita terasa berat.
Overthinking membuat rasa takut menjadi-jadi karena telah buat situasi kita menjadi lebih buruk. Padahal, perubahan tidak selamanya buruk.
Spencer menyarankan kita untuk menyadari rasa takut yang ke depannya mungkin tidak terjadi. Jika mencoba hal haru, itu pertanda kita siap berubah dan jika tetap pada hal lama, itu pertanda kita tetap pada jalan diri yang itu-itu saja.
ilustrasi keluar dari zona nyaman (sumber: freepik)
Ketakutan di pikiran lebih buruk daripada kenyataan sebenarnya. Misalnya, orang yang menganggap berjalan kaki sejauh 5 km itu terlalu jauh, padahal jalan yang akan dilewati memuat berbagai aktivitas manusia yang bisa jadi hiburan visual sehingga perjalanan jauh tersebut mungkin bisa terasa menyenangkan.
Karakter Hem awalnya menolak perubahan dan merasa nyaman dengan yang itu-itu saja, menunjukkan mindset yang kaku dan takut terhadap hal baru. Namun, karakter Haw menunjukkan perkembangan mindset ketika ia mengatasi ketakutan dan mulai mencari keju baru. Ini menggambarkan bahwa ketakutan akan perubahan sering kali tidak berdasar dan menghambat kemajuan.
Lupakan derita, pikirkan perolehan, kata penulis. Ia mencoba membuat pembaca optimis dan tidak perlu pesimis terhadap suatu hal yang hendak dicoba atau dilakukan. Selain itu, dengan adaptasi, kita bisa menghadapi perubahan yang tidak selamanya buruk.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.