Majalah Sunday

Proyek

Sebulan sudah, Ijo tidak bekerja. Dia merenung menyendiri di rumah. Menenggelamkan pikirannya dalam kabut kekalutan. Istrinya selalu meminta uang padanya. Tetapi dia sendiri belum dapat pekerjaan. Tidak ada uang pun yang dia pegang.

Sementara tabungan sudah habis buat berobat dia karena terkena asam urat. Kakinya berurat semua, kalau dibuat jalan tidak bisa. Terpaksa harus diobatkan ke rumah sakit dan menelan banyak biaya pengobatan.

Ijo yang lulusan seorang sarjana, kini menganggur. Dia tidak bisa memperkirakan nasib melanda dirinya. Hanya ada penyesalan dalam dadanya. Kini dia sedang berpikir sambil menguras tenaga otaknya. 

Setiap hari dia baca koran-koran. Dilihatnya dikolom lowongan kerja, siapa tahu ada lowongan kerja baginya. Tetapi belum dia dapati pekerjaan yang sejurus dengan ijazahnya. Dia hampir mau putus asa.

Istrinya selalu menyemangati, kadang bahkan walau tidak ada uang istrinya tetap buatkan kopi untuknya. Istrinya terpaksa utang dulu ke warung. Minta beberapa sembako untuk dibawa pulang ke rumah. Utangnya sudah numpuk di warung Mpok Yem.

“Mas, kerjalah!”

“Sulit, belum ada pekerjaan bagiku.”

“Berusahalah, kamu lelaki.”

“Lihat saja, koran ini belum ada lowongan pekerjaan!”

Dia terbawa emosi. Dibantingnya koran itu ke meja. Dia kembali ke kamar. Tidur kembali sampai siang menjuma. Istrinya sementara juga hampir putus asa. Tidak kuat hidup bersama Ijo.

Ijo menangis. Dia banyak berderai air mata. Sementara dalam hati dia ingin membahagiakan keluarga dan istrinya. Tetapi taka da uang buat bersenang-senang. Buat bahagia tidak ada uang. Dia tak mau begini terus.

Tetangganya yang memang kebetulan tidak suka pada dirinya, selalu mencibir dia tiap hari. Diomongkan keburukan-keburukan Ijo kalau dia lelaki mellow, tidak punya tanggung jawab. Beruntung pula istrinya masih mau bersama dia.

“Kalian tahu apa tidak, itu Ijo, udah pengangguran tulen sekarang,” kata tetangganya.

“Iya, aku dengar istrinya tiap hari menangis,” sambung tetangga yang lain.

Kasihan sekali Ijo. Ijo pun teringat lantas kepada kawannya yang menjadi seorang mandor bangunan. Dia ingin ikut bekerja sebagai pekerja bangunan. Lalu Ijo hubungi temannya itu. Kebetulan, temannya memberitahukan bahwa dia butuh seorang pekerja lagi.

Ijo berniat melamar pekerjaan. Dia besok akan menemui kawannya itu. Esok pun dia berangkat menemui kawannya. Kawannya yang memakai topi kuning melihatnya. Dia melambaikan tangan memanggil Ijo.

“Sini, Jo!”

“Aku mau bekerja.”

“Kamu mau jadi pengaduk semen atau pengangkat batu-bata?”

“Apa saja aku lakukan.”

“Kamu harus kuat!”

“Aku sangat membutuhkan uang. Biarpun badanku tersiksa. Aku tetap akan bekerja demi mendapatkan uang.”

Pernyataannya membuat kawannya merasa iba. Akhirnya dia diterima sebagai pekerja di bawah pengawasan temannya yang mandor itu. Dia angkat beberapa sak semen dan dia aduk campuran semen dan pasir.

Pertama bekerja, dia serasa mendapatkan punggungnya terkilir. Uratnya rasanya bengkak dan mau putus. Tetapi ini bekerja. Sulit sekali kesempatan datang untuk kedua kali. Dia tidak ingin kembali jadi pengangguran.

Pekerjaan itu dilakukannya selama pagi sampai menjelang petang. Tenaganya mau habis. Badannya mau ambruk. Baru kali ini dia merasakan pekerjaan yang amat berat. Dia pun bercengkrama dengan pekerja lainnya. Seorang pekerja lain mengajaknya berbicara.

“Kamu baru di sini?” tanya pekerja lainnya.

“Iya, aku baru pertama bekerja di sini.”

“Apa badan dan tanganmu serasa mati?”

“Iya, kamu benar.”

“Begitulah, aku dulu juga seperti itu. Lama-lama kamu akan menikmatinya.”

Ijo merasakan dia mau dijemput jurang maut dan sengasara. Dia pulang ke rumah. Mandor memberikan beberapa uang kepada Ijo sebagai bayaran. Diserahkannya uang itu kepada Ijo sambil berharap besok dia harus mau bekerja lagi.

Ijo pun mengiyakan. Dia pulang ke rumah. Akhirnya dia dapat pekerjaan dan uang. Diberikannya uang yang dia peroleh dari bekerja itu kepada istrinya. Istrinya senang bukan main. Dia memegangi uang itu lalu merasa bersyukur.

“Alhamdulilah, sekarang kamu dapat pekerjaan, Mas.”

“Iya, kawanku menerimaku bekerja dengannya.”

“Andar? Itukah yang kamu maksud, orang itu?”

“Iya, kamu benar.”

“Dia orang yang penuh bahaya. Licik, tamak, aku yakin dia pasti punya maksud padamu secara diam-diam.”

“Jangan suka berburuk sangka pada orang! Kamu seperti tetangga lainnya. Suka membicarakan orang lain dan memfitnah saja.”

Istrinya diam segera. Istrinya menundukkan muka. Ijo pun segera ke belakang untuk mandi dan beristirahat. Keesokan harinya dia harus bekerja lagi. Seusai petang datang, dia tidur hingga larut malam.

Sebenarnya, ada tujuan tersembunyi dari mandor itu. Mandor itu suka bermain wanita. Dia suka naksir kalau lihat wanita cantik. Apalagi mandor itu kenal sama Ijo dan istrinya Lina. Mandor itu ingin merebut Lina dari Ijo.

Esok hari, Ijo kembali bekerja. Dia bersama beberapa orang mengangkati batu-batu besar dan mengaduk semen. Tepat jam siang hari, mandor merencanakan rencana jahatnya. Dia ingin membunuh Ijo dan menjadikan kuburannya di proyek.

Dia perintahkan beberapa orang kepercayaan untuk menjalankan rencana itu. Diperintahkannya dua orang untuk mengikuti aba-aba dari mandor. Ijo yang sedang bekerja di bawah dan menata bata-bata tidak tahu aka nada bahaya menimpa.

Mandor menyuruh dua orang untuk menuangkan adukan semen tepat di atas badan Ijo. Adukan semen itu tumpah menutupi badan Ijo. Lelaki itu terkubur hidup-hidup bersama semen yang cepat membeku.

Dia berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang mau menolongnya. Pekerja yang lain hanya memandanginya saja. Kini dia sudah jadi kuburan proyek. Mandor merasa senang hati. Dia ikut bersuka cita atas kematian Ijo.

Dua orang tadi, salah satunya adalah yang bercengkerama dengan Ijo kemarin. Dia pun dan seorang temannya lantas menerima uang bayaran yang lebih tinggi sebagai upahnya menewaskan Ijo.

Sudah beberapa hari, Ijo tidak pulang. Istrinya gelisah, bertanya-tanya dalam hati sendiri, kemanakah perginya suaminya itu. Rumah sepi, senyap, hanya dia sendiri di rumah. Sudah tidak ada suara Ijo lagi.

Tetangganya desas-desus tentang Ijo. Mereka bicarakan Ijo yang tidak pulang rumah. Mereka kira Ijo sudah minggat dan tidak ingat istri. Tetapi mereka tidak tahu kalau Ijo sudah tewas menjadi mayat di proyek bangunan.

“Kalian tahu, si Ijo itu kemanakah?”

“Ah, lelaki tidak punya tanggungjawab. Lelaki bajingan itu.”

“Istri dibiarkan sendiri. Tidak diurus.”

“Memang dasar, orang sekarat di aitu.”

Esok hari mandor proyek datang ke rumah Lina. Dia berpura menanyakan kabar suaminya. Kemana perginya suaminya, kenapa tidak bekerja lagi. Dia tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan mandor.

Kemudian mandor juga menanyakan, apakah suaminya itu berniat bekerja atau tidak, kalau tidak dia akan mencari orang lain untuk bekerja di proyek yang dikerjakannya. Lina terdiam tidak bisa menjawab.

Kemudian datanglah seorang yang mengabarkan kalau Ijo sudah minggat. Dia lari dan merantau ke Sumatera. Dia meninggalkan pekerjaannya secara Cuma-Cuma. Mandor berpura marah dan menggelengkan kepala. Sementara itu, Lina menangisi suaminya. Dia berpikir kenapa dia harus ditinggalkannya seorang diri.

 

Desember 2022

 

oleh: Muhammad Lutfi, Alumni Sastra Indonesia UNS

Ikutan berkarya di Majalah Sunday

Chat Di Sini!
Post Views: 564
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?