Majalah Sunday

Helloween dan Manusia

Hei, lihat kalendermu.

Di bulan kesepuluh.

Nah, itu dia. Angka yang kau lingkari dengan spidol merah. Hari yang spesial, ya?

Melihat senyum semringah dan semangatmu yang menggebu, aku terkikik.

Dua jam kemudian, dirimu lantas sibuk berpakaian. Kostum ala penyihir dengan jubah dan topi tinggi. Tidak lupa riasan yang memberi kesan seram (yang tidak ada seram-seramnya menurutku). Lalu berpose dan berswafoto—banyak sekali. Setelahnya, kau berlalu menuju pestamu dan kamar ini serasa jadi milikku seorang.

Aku menatap cermin besar yang sangat kau sukai itu. Hm, penampilanku lebih mendukung untuk pesta Halloween. Aku bertanya-tanya kenapa dirimu dan kaummu suka sekali berpesta dengan dandanan ala kami. Maksudku, aku saja lebih ingin jadi kalian. Siapa, sih, yang mau jalan-jalan setiap hari dengan berlumur darah dan wajah seram? Tidak ada yang bakalan naksir, tahu.

Omong-omong tentang pesta, aku jadi ingat. Para kunti di kompleks sebelah tadi siang mengundangku ke pesta Halloween. Ah, iya, kami juga ikut merayakan hari spesial itu (tanpa pakai kostum, tentu saja). Setelah mematut diri sekali lagi, aku segera melayang terbang ke lokasi.

 

Wah, ramai juga. Sebagian tamu bukan berasal dari daerah sini, kurasa. Ada sebentuk kepala dengan organ tubuh melayang yang sama sekali belum pernah kulihat. Lalu makhluk dengan wajah seperti topeng menyeramkan yang sepertinya berasal dari luar pulau. Serta wanita merangkak yang rambut hitam panjangnya menutupi wajah—tunggu dulu, itu makhluk dari luar negeri, bukan? Aku pernah melihat kau menonton film horor dengan wanita itu sebagai bintang utamanya. Wah, panitia pesta ini hebat juga.

Bunyi dentang jam tiba-tiba bergaung kencang, menandakan waktu sudah tepat tengah malam. Para tamu pesta berseru-seru. Sudah waktunya, ternyata.

Musik keras lalu berkumandang. Sekumpulan tuyul mungil bernyanyi dengan suara melengking di sebuah panggung kecil. Para kunti yang tadi mengundangku membentuk kerumunan di dekat pohon, asyik cekikikan. Yang lain berjoget-joget seru.

Di salah satu bagian dalam pabrik gula terbengkalai ini, ada sekumpulan makhluk yang membentuk grup kecil dan mempersembahkan sebuah film. Aku mendekati mereka, berdiri di antara dua pocong.

“…seram juga, ‘kan? Antara kita dan mereka, menurutku mereka jauh lebih seram. Ah, lebih kejam, tepatnya.” Seorang pemuda dengan sebelah mata yang gelap penuh darah memberi penjelasan.

“Nonton apa, nih?” tanyaku.

Salah satu pocong menjawab, “Film dokumenter ‘Manusia vs Setan: Mana yang Lebih Seram?’”

Aku mengangguk-angguk. Setelah si pemuda selesai bicara, film kembali diputar.

Di layar, sepasang manusia berteriak-teriak. Yang laki-laki meraih sebuah vas bunga, lantas dipecahkan vas tersebut ke kepala si perempuan. Aku meringis—aku pernah merasakannya. Si perempuan sudah tergeletak dengan kepala penuh darah, sementara si laki-laki tetap memukulkan vas pecah itu terus-terusan.

“Kalian lihat? Mengerikan sekali, ‘kan?” si pemuda angkat bicara, dengan bersemangat menunjuk-nunjuk layar. “Seharusnya mereka saling cinta, tapi cinta yang mereka maksud malah membuat salah satunya menjadi pembunuh. Kejam!”

Seisi grup menggelengkan kepala dan mendecak.

“Begitulah manusia. Beberapa dari kita hadir di sini juga disebabkan keseraman mereka,” si pocong di kiriku menceletuk.

“Tidak semua manusia begitu,” kataku, teringat akan dirimu yang senantiasa lembut.

“Tapi lebih banyak yang begitu,” si pocong berkeras.

Adegan kini berganti. Di sebuah kawasan luas dengan banyak pepohonan, berkumpul manusia-manusia berseragam. Di tengah-tengah, selusin manusia duduk membentuk lingkaran. Yang lain sisanya berdiri mengelilingi, berteriak-teriak pada grup kecil tersebut. Salah satu manusia tiba-tiba menarik seorang laki-laki dari lingkaran, lalu mendorongnya keras hingga terjerembab. Tak habis di situ, sambil berteriak ia juga menghajar wajah, perut, dan anggota tubuh lain laki-laki itu. Si laki-laki tampak memohon-mohon yang dibalas tendangan menyakitkan. Laki-laki itu terlihat tidak sadarkan diri.

“Mereka adalah akademisi—orang pintar, katanya. Tapi lihat, begitukah orang pintar memperlakukan sesamanya? Menghajar atas nama ‘senioritas’.” Si pemuda menggeleng-geleng prihatin.

“Mereka takut pada kita padahal mereka yang seram,” seru salah satu setan.

“Betul. Hanya karena penampilan kita terlihat ‘menyeramkan’ bagi manusia-manusia itu, tidak berarti kita kejam, bukan? Mereka yang tampak normal justru jauh lebih kejam dan brutal. Tidak keberatan melakukan perang dan genosida demi keuntungan sendiri.”

Seisi grup lantas berseru dan memekikkan persetujuan.

“Manusia sangat menyeramkan, karena berpikir mereka punya kuasa dan kekuatan yang bisa digunakan untuk menyakiti manusia lain dengan bebas. Hukum dan agama pun tidak mereka pedulikan. Hanya ada nafsu dan kesenangan yang harus dipuaskan. Seram, sekaligus menyedihkan.”

“Saat ini, keseraman manusia jauh melampaui kita,” si pocong di kananku mengangguk setuju. “Sisi kejam mereka luar biasa menyeramkan.”

“Bias sekali,” aku berkomentar. “Kalian beranggapan begitu karena kalian bukan manusia.”

Kedua pocong langsung mendelik ke arahku yang tentu saja kuabaikan.

Film diputar kembali dengan berbagai contoh adegan manusia-menyeramkan-versi-mereka yang tidak lagi berminat kutonton. Aku kemudian meninggalkan pabrik gula tersebut sebelum pesta usai.

Ternyata kau juga sudah pulang dari pestamu. Tanpa melepas kostum dan menghapus riasan, kau sudah terlelap nyenyak di kasur. Aku memandang sosokmu dengan kagum. Aku selalu menyukaimu karena kau seperti diriku dahulu. Kau kuat, meskipun orangtua dan kawan-kawanmu telah melakukan hal kejam terhadapmu. Setan-setan di sana tadi memang benar—manusia begitu menyeramkan hingga kami kalah seram. Tapi tidak semua—tidak denganmu. Kau adalah manusia paling baik yang pernah kutahu.

 

Penulis: Deni Adilla Safitri – Universitas Negeri Jakarta

Post Views: 549
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?