Majalah Sunday

Pandemi Selama Setahun,
Frekuensi Emosi Pelajar Menurun?

Penulis: Dionisius Arya – Universitas Kristen Satya Wacana
Editor: Imani – UNJ

Masih berhubungan dengan LDR (Long Distance Relationship) di pandemi, namun yang satu ini tidak terbatas hanya dalam urusan percintaan, melainkan dalam lingkup yang lebih luas lagi.

pandemi
Pandemi yang mengharuskan kita untuk di rumah saja ternyata berdampak pada aspek kehidupan kita, pict by canva.com

Pandemi Covid-19 memang memberikan dampak signifikan terhadap semua aspek kehidupan, termasuk yang paling utama yaitu kebutuhan untuk berinteraksi satu sama lain. Sejatinya, manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk dapat berinteraksi antar sesama manusia.

Namun, semenjak pandemi manusia terpaksa untuk melakukan hal yang sebaliknya: menjaga jarak, membatasi diri dengan orang lain, hingga melakukan isolasi untuk menghindarkan diri dari penyebaran virus.

Kasih sayang jarak jauh dari orang tua, pertemanan dan percintaan, serta pembelajaran jarak jauh adalah LDR yang lebih luas karena dampak Covid-19. Terkhusus bagi remaja, kondisi ini akan berat dilalui karena mereka terpaksa membatasi interaksi antar sesama selama masa pandemi.

Padahal, interaksi antar manusia inilah yang membentuk frekuensi emosi dalam diri remaja. Sehingga pada akhirnya, kehadiran pandemi ini mempengaruhi frekuensi emosi remaja, termasuk perasaan bahagia dan perasaan di dalamnya.

Berbagai Survei Frekuensi Emosi pada Remaja

Tony Blair Institute for Global Change (TBI) melakukan survei pada kaum muda berusia 12-28 tahun di delapan negara, termasuk Indonesia; yang menunjukkan hasil mayoritas respodennya kehilangan perasaan bahagia, bahwa tantangan yang dihadapi akan semakin buruk. Dalam surveinya juga ditunjukkan bahwa 44 persen responden beranggapan bahwa tantangan yang dihadapi akan semakin buruk.

Hal ini tak lepas dari kurangnya kegiatan belajar, interaksi sosial guru dengan murid, dan paparan kekerasan rumah tangga yang mereka alami. Selain itu, survei dari organisasi amal terkemuka di Inggris, Young Minds menunjukkan 87 persen dari 2.000 responden merasa kesepian dan terisolasi.

Sementara di Indonesia, Persatuan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia telah melakukan survei terhadap 4.010 responden pada bulan Agustus 2020. Hasilnya, sebanyak 42 tentang kematian setiap harinya; ditambah pikiran lain seperti kecemasan, trauma psikologis, dan ingin bunuh diri. Situasi pandemi yang tak kunjung usai, diyakini memperburuk kondisi kesehatan mental dan emosi remaja di Indonesia.

pandemi
Infografis frekuensi berbagai emosi di kalangan remaja, pict by Majalah Sunday

Berbagai emosi seperti bahagia, penuh harapan, dan bergairah justru menurun selama pandemi. Sedangkan perasaan takut, sedih, dan marah yang justru meningkat drastis selama pandemi. Demi menyelamatkan masa depan, pemerintah diharapkan mampu memberikan penanganan terbaik.

Memberikan pelayanan konsultasi online secara gratis dapat dilakukan sebagai penanganan menurunnya kesehatan mental dan emosi remaja. Selain itu, menambah layanan konsultasi psikologis di semua kampus, agar mahasiswa yang membutuhkan jasa konsultasi di masa pandemi dapat terfasilitasi.

Setahun sudah pandemi, Sunners. Banyak pelajaran kemanusiaan berharga dari kondisi ini. Kita tetap harus menyebarkan pesan-pesan kemanusiaan yang bijaksana, menumbuhkan optimisme, dan harapan-harapan yang positif untuk kebaikan bersama.

*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 671
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?