Denyitan tangga berkayu itu terdengar tergesa-gesa. Tak lama tampak gadis manis yang menuruninya dengan setengah berlari.
“Hati-hati, Medela!” tegur wanita paruh baya yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Setelah sampai pada anak tangga terakhir, Medela menghampiri wanita itu dan mencium pipinya.
“Morning, Ma.”
“Morning, sayang. Gimana tulisan mu?”
“Aku rasa, aku perlu menambahkan tokoh lagi,” sahut Medela sembari mengambil sepotong roti bakar yang disediakan di atas meja berbentuk lingkaran itu dan segera memakannya. “Ah, roti bakar buatanmu memang yang terbaik.”
“Medela, Let’s go!” setelah terdengar teriakan dari halaman rumahnya, Medela segera berpamitan kepada wanita paruh baya itu.
“Jangan merindukanku, Ma,” ucapnya yang berhasil membuat Angelica tersenyum.
Meski merawatnya sendiri dalam sepi, Angelica tetap menyayangi gadis tunggalnya yang kini sudah beranjak dewasa dan sangat cantik. Ayah Medela yang seorang prajurit di bawah pimpinan Kerajaan Astro sudah 5 tahun terakhir ini menjadi tahanan di Kerajaan Moon. Saat hari di mana Angelica begitu terpuruk dengan kabar itu, Medela mengembalikan cahaya kehidupan yang sempat redup. Gadis manis itu adalah permata bagi Angelica. Permata yang sangat berharga.
Mata bulat dan pipi merona gadis manis itu begitu bersinar saat semburat mentari yang memantul melalui kapas-kapas langit mengenai wajahnya. Siapa yang tidak terpesona dengannya? Andai saja ia sanggup mengenakan gaun mewah yang sering dikenakan orang-orang di kerajaan itu, mungkin ia akan tampak secantik putri di dunia dongeng. Ah, sayangnya gadis manis itu tidak menyukai gaun tetapi tidak juga membencinya. Hanya saja, menurutnya gaun-gaun itu akan membuatnya tidak leluasa saat berjalan. Ia juga tidak suka memakai sepatu kaca dengan heels. Ia pernah sekali memakainya, saat sang Ayah membawakan sepatu kaca milik Putri Gisha yang sudah tidak terpakai dan hendak dibuang oleh pelayan kerajaan. Medela tampak senang. Tetapi, begitu ia melangkah untuk kesekian kalinya..
Brukkkkk!!
Ya, dia terjatuh. Kakinya terkilir yang menyebabkan dirinya tidak sanggup berjalan hingga beberapa minggu. Kapok. Gadis manis nan lincah itu kapok mengenakan sepatu kaca. Saat itulah ia memutuskan tidak akan mengenakan sepatu kaca itu lagi. Meski begitu, Moree tetap berharap suatu hari nanti, ketika gadisnya mulai beranjak dewasa, ia akan hadir di pesta dansa Kerajaan Astro dengan mengenakan gaun dan sepatu kaca yang indah.
Semburat mentari mengikuti jejaknya, langit biru dipenuhi kapas yang tampak bergerak. Sebagian membentuk yang entah membentuk apa, Medela pun memikirkannya. Ah, rabbit, gumamnya. Dialihkan pandangannya itu ke pohon besar di depan rumahnya. Saat itulah matanya menangkap sarang burung di salah satu batangnya yang sepertinya kemarin belum ada di sana. Matanya menyipit, memastikan apakah itu benar-benar sarang burung.
“Medela, kau lama sekali,” protes lelaki yang berdiri di depan pagar rumahnya bersama seorang gadis berambut panjang yang rambutnya dibiarkan terurai hingga ke pinggang. Medela melepas pandangannya dari sarang burung yang berada pada salah satu batang pohon besar itu dan segera menyusul kedua temannya yang sedari tadi sudah menunggu.
***
“Kapan tahanan di Kerajaan Moon akan diselamatkan?” mata bulat nan indah itu kini tampak penasaran. Lelaki dan gadis berambut panjang itu menghela napas yang kemudian disusul dengan gelengan kepala.
“Cih, bisa-bisanya mereka lepas tangan begitu saja. Para penguasa itu, benar-benar tidak memikirkan rakyat kecil seperti kita!”
Sebuah foto tergeletak di atas susunan bambu yang membentuk lingkaran dan berwarna cokelat.
“Mereka siapa, Del?” Medela tersenyum sinis ketika lelaki itu bertanya.
“Kau benar-benar tidak tahu anggota kerajaan, ya? Ini Raja dan keluarga adiknya. Aku dengar adiknya akan dinobatkan sebagai Ratu di Kerajaan Astro. Coba lihat ini,” telunjuk Medela berhenti pada seorang gadis yang berdiri di samping wanita yang sedang merangkul Raja dengan akrabnya.
“Siapa dia?” tanya lelaki itu penasaran. Gadis berambut panjang itu pun ikut penasaran.
“Sunrise. Dia akan resmi menjadi Putri kerajaan.”
Ketiga sekawan itu tampak berpikir. Di ruangan tak cukup cahaya yang mereka sebut ‘markas’, tersusun sebuah rencana. Rencana yang masih tidak tahu kapan atau harus bagaimana memulainya. Masih mereka pikirkan.
Pilihan mereka hanyalah dua, menghancurkan ketidak-adilan atau hancur bersama ketidak-adilan..
…bersambung ke Part 3
Lina Rufaidah
Universitas Negeri Jakarta