Majalah Sunday

Kisah Pendakian Gunung Pertama (Bagian 3)

Penulis: Hanifah Nur – PoliMedia Jakarta
Editor: Fidya Damayanti – Universitas Negeri Jakarta

Hari Pendakian Gunung Gede

pendakian gunung

Keberangkatan Citra dan Farhan, pict by bing.com

Dua hari telah berlalu dengan beragam macam persiapan, baik barang bawaan, fisik, dan mental. Hari ini menjadi hari keberangkatan Citra bersama abang dan teman-temannya untuk melakukan pendakian gunung Gede di Bogor, Jawa Barat. Sebelum berangkat Citra dan Farhan mendapatkan bekal nasihat dari ayah mereka yang tak jauh berbeda dengan apa yang sudah ditebak oleh Citra.

“Jaga adik kamu dan baik-baik di sana. Ingat agar tidak melanggar aturan, norma, dan jaga kebersihan. Mengerti?” Tanya ayah mereka.

“Baik, Pa. Farhan mengerti,” Jawab Farhan.

Tatapan ayah mereka beralih pada Citra yang sejak tadi hanya mangut-mangut saja lalu berkata, “Kalau ada apa-apa langsung bilang ke abangmu ya? Jangan lupa berdoa dan ingat apa yang udah Papa ajarkan padamu.”

“Iya, Pa. Rara paham,” Jawab Citra sambil tersenyum.

Mama ikut tersenyum lalu memeluk kedua anaknya itu sambil mendoakan mereka. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang dan akhirnya mereka pun berangkat menggunakan mobil yang dibawa oleh paman Dito. Dari kejauhan Citra bisa melihat lambaian dari kedua orang tuanya yang penuh kekhawatiran di balik senyuman. Meski tidak sepenuhnya mereka mengizinkan, tapi kedua orang tua Citra dan Farhan berusaha untuk percaya bersamaan dengan doa.

“Mabok gak, Ra?” Tanya Diaz memulai candaan.

“Gak dong! Enak aja!” Seru Citra jengkel.

Diaz tertawa lalu menawarkan permen asam untuk Citra dan teman-temannya. Kini mereka sudah sampai di lokasi pendaftaran pendakian gunung Gede yang terlihat cukup ramai. Citra menikmati hawa dingin di tengah siang hari. Fahran meletakkan barang-barang mereka, sedangkan Dito dan Reza mewakilkan mereka untuk mencari informasi registrasi. Berbeda dengan Citra yang masih sibuk menikmati pemandangan sambil menyapa beberapa pendaki di sana.

“Lewat jalur mana, mbak?” Tanya salah satu dari mereka.

“Gunung Putri bang,” Jawab Citra.

“Oh lewat sana. Hati-hati ya,” Pesannya.

Citra tidak ambil pusing dan memilih untuk kembali ke rombongannya. Di sana sudah berkumpul bersama sambil mengecek barang bawaan masing-masing. Di rasa sudah siap, akhirnya Citra bersama abangnya dan teman-teman memulai pendakian gunung dari Pos Penukaran Simaksi.

Pendakian gunung

Pendakian Dimulai Saat Siang Hari, pict by bing.com

Jalanan masih normal dengan tanjakan yang tak terlalu terjal. Citra belum lelah, bahkan semakin bersemangat kala mendengar kicauan burung dan hembusan angin yang menyentuh dedaunan. Pohon-pohon terlihat ramah menyambut mereka, tapi bisu seolah tak bisa memberitahu apapun.

Pengalaman pertama bagi Citra yang berjalan baik-baik saja sampai mereka tiba di Pos Bayangan Tanah Merah untuk beristirahat. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 sore, tapi Citra bersama yang lain belum tiba di Pos 3 Buntut Lutung. Target dari Farhan adalah melihat matahari terbit di puncak gunung Gede, tapi ternyata mereka masih belum sampai setengah perjalanan. Banyak resiko dan kekhawatiran yang muncul diantara mereka.

“Target kita sampai ke Pos 3 nanti jam 8, baru istirahat dan tidur. Bangun lagi jam 1 pagi buat lanjut ke Puncak,” Ucap Farhan.

“Kalau bisa kita lanjut sampai Pos 5, Han. Biar pagi nanti langsung dapet spot bagus buat lihat matahari terbit,” Balas Diaz.

“Jadi kita mau ngebut nih? Mumpung masih jam 4 sore,” Tanya Dito membuat Citra menoleh dan menatap mereka.

Farhan melirik Citra yang terus minum air mineral karena haus, “Lo sanggup gak, Ra? Aman?”

“Aman, Bang. Lagi pula, lebih cepat lebih baik kan?” Tanya Citra.

Reza tertawa pelan lalu berkata, “Tetap aja, sesuatu yang dipaksakan itu gak baik, Ra.”

“Gue baik-baik aja kok, Bang. Kita bisa lanjut,” Ucap Citra sambil tersenyum antusias.

“Kita istirahat dulu ya. Lumayan capek buat pengalaman pertama kita,” Ucap Farhan.

Diaz tertawa bersama Dito lalu mereka mengeluarkan cemilan. Citra yang masih semangat pun bingung untuk melakukan apa, tapi botol minum yang sudah habis membuatnya ingin buang air kecil. Dengan cepat Citra izin dengan abangnya untuk buang air kecil di balik pepohonan yang tak begitu jauh dari mereka.

“Mau ditemenin gak, Ra?” Tanya Farhan khawatir.

“Gak usah ih! Sana!” Usir Citra. Dia sudah besar tapi abangnya masih saja memanjakan dirinya.

“Yaudah hati-hati. Jangan lupa permisi!” Pesan Farhan.

Tanpa menyahut, Citra langsung bergegas buang air kecil sambil berdoa. Hembusan angin yang panas karena matahari masih terik membuat Citra melamun dan terbawa suasana. Dia sangat menyukai hutan karena pengalaman pendakian ini. Rasanya dia mau segera mencapai puncak dan mengabadikan momen itu. Namun, Farhan dan teman-temannya selalu mengkhawatirkan Citra. Mungkin karena dia adalah seorang perempuan dan khawatir kalau Citra kelelahan. Namun, Citra membuktikan kalau dia baik-baik saja dan mengajak mereka semua untuk kembali melakukan pendakian gunung Gede.

Tentu Citra tak mau jadi beban dan membebani perjalanan mereka. Memang dirinya masih kuat, sehingga Citra memilih untuk terus mengikuti pendakian sampai tiba di Pos 5 Alun-Alun Suryakencana Timur pada pukul 9.00 malam.

Suasana Hutan di Malam Hari

Suasana Hutan di Malam Hari, pict by bing.com

Sepanjang jalan Citra sudah sangat lelah dan bahkan pikirannya mulai kabur. Belum lagi suara hutan di malam hari yang sangat berbeda ketika mereka datang. Citra merasa pohon-pohon yang mengelilinginya itu seolah mengintai dirinya.

“Ra, basuh-basuh dulu sana. Baru istirahat,” Ucap Farhan menegur.

“Abang jaga semalaman?” Tanya Citra menatap khawatir abangnya.

“Iya, bareng Reza. Kami kuat bergadang,” Jawab Farhan.

“Kalau gitu Rara tidur ya, Bang. Kalau ada apa-apa bangunin Rara aja,” Ucap Citra.

“Udah jadi pesan Papa dan tanggung jawab gue buat jagain lo. Gih,” Ucap Farhan sambil memanaskan teko untuk membuat kopi dan the panas.

Citra pun memilih untuk cuci muka dan membersihkan diri. Tenda yang kokoh untuk melindunginya membuat Citra bisa tenang meski sedikit. Di mana pun dia berada keselamatan menjadi tanggung jawab diri sendiri. Maka dari itu, Citra tetap terjaga sampai beberapa jam sambil berdoa tanpa mendengar suara abangnya dan teman-temannya. Cukup aneh ketika mereka terjaga di luar tapi tak mengobrol sama sekali. Perasaan aneh itu kian larut lalu Citra pun tertidur.

Selama tertidur, Citra samar-samar mendengar suara aneh seperti kicauan burung di rumahnya. Kedua mata Citra terasa berat untuk terbuka, begitu juga dengan kesadarannya yang tak kunjung berkumpul. Badannya ikut lemas dan kepalanya pusing. Citra terbangun dengan suasana tenda yang sepi. Layaknya tadi malam sebelum dirinya tidur. Dengan segera Citra membuka tenda dan mendapati sosok Farhan bersama teman-temannya yang asik minum teh bersama cemilan.

“Kalian gak tdiur ya?” Tanya Citra sambil mengucek matanya.

“Enggak,” Jawab mereka kompak.

Tidak heran lagi kalau anak cowo memang suka bergadang. Citra yang paling dimanjakan di sana dan dia segera pergi makan ditemani teh hangat. Jam menunjukkan pukul 1.00 dini hari yang masih terasa gelap juga dingin. Citra mengajak mereka semua untuk kembali melakukan pendakian gunung agar dapat mengejar waktu.

Langkah demi langkah, jurang dan tanjakan terjal berhasil mereka lalui. Di sepanjang jalan mereka tak mengobrol sama sekali karena rasa kantuk dan tekad untuk melihat sang surya terbit. Citra dengan penuh tekad bulat berusaha membangkitkan semangat abangnya dan teman-temannya untuk tiba di puncak akhir dari pendakian gunung pertama mereka. Ya, mereka berhasil melewati pos terakhir bernama Alun-Alun Suryakencana barat dan kini tengah menuju puncak.

“Ayo, semangat! Dikit lagi kita tiba di puncak!” Seru Citra senang.

“Bilang ke Papa ya kalau lo berhasil sampai puncak dan paling semangat di sini,” Ucap Farhan tanpa menoleh ke belakang untuk menatap Citra.

“Rara bakal bilang juga ke Papa kalau bang Farhan udah berhasil jagain Rara,” Balas Rara sambil tersenyum lebar.

Lagi-lagi tak ada sahutan dan mereka kembali terdiam sampai tiba di puncak. Tepat sekali mereka melihat langit yang mulai menampilkan cahaya terang dari ufuk timur. Jam menunjukkan pukul 4.00 pagi dan Citra berhasil tiba tepat waktu, Dengan cepat Citra mengabadikan foto dan menikmati pemandangan di depannya yang bagai hamparan lukisan indah.

“Kita bakal pamer ke Papa kalau berhasil naik gunung Gede. Kelihatannya Papa belum naik ke sini,” Ucap Citra yang asik melihat hasil potretnya.

“Papa pernah ke sini,” Ucap Farhan.

“Oh iya? Katanya Papa lupa,” Balas Citra.

“Katanya mendaki sendiri, tapi diantar sampai puncak,” Ucap Farhan.

Citra kembali memotret kabut indah yang bercampur dengan sinar jingga mentari. Tepat sekali dengan kedatangan pendaki lain yang tiba. Mereka terlihat sama bahagianya dengan Citra. Ada rasa kepuasan sendiri ketika berhasil sampai di puncak. Beberapa dari pendaki itu adalah seseorang yang pernah disapa oleh Citra saat di pos registrasi. Dengan sopan Citra menyapa mereka semua dengan senyum lebar, tetapi tidak dengan mereka yang terlihat terkejut seolah melihat hantu.

“Oh, kamu gak turun sama teman-temanmu ya?” Tanya salah seorang pria yang mengejutkan Citra,

“Maksud bapak?” Tanya Citra bingung.

“Waktu di Pos 3 Buntut Lutung kemarin, kami ketemu teman-temanmu yang nyariin kamu. Akhirnya mereka turun, eh ternyata kamu lanjut mendaki loh. Sama siapa?” Tanyanya lagi,

Kerutan di dahi Citra semakin dalam lalu perlahan dia menoleh ke belakang yang seharusnya ada abangnya dan teman-temannya, tapi saat dia menoleh tak ada siapapun di belakang. Sedari tadi Citra ternyata asik sendiri memotret dan menikmati puncak. Mungkinkah sejak semalam Citra memang sudah sendiri? Namun, siapa yang menyamar jadi bang Farhan dan teman-temannya? Lebih aneh adalah mereka tetap menjaga dan menemani Citra sampai puncak.

Kisah ini pun berakhir dengan Citra yang turun ke pos registrasi tepat pada sore menjelang malam bersama rombongan lain. Di bawah sana sudah ada Farhan bersama kedua orang tua mereka dan teman-temannya dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Citra langsung memeluk ayahnya sambil menangis, tapi dengan tenang sang ayah mengusap lembut citra dan memandangi beberapa sosok bayangan putih diantara pepohonan.

“Terima kasih sudah nemenin anak saya,” Batin sang ayah.

 

TAMAT

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 170
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?