Majalah Sunday

Kisah di Alam Bawah Sadarku

Penulis: Frisca Teresya Malau – Universitas Kristen Indonesia

Lahir di keluarga yang sederhana di tengah kota Jakarta tidak membuatku menjadi sosok yang tertutup untuk bersosialiasi dengan orang lain, aku bahkan sangat senang bertemu orang baru, berkenalan, berbincang dan bersenda gurau bersama.

Di suatu pagi dengan semangat yang sangat menggebu-gebu aku berangkat sekolah pukul 7 pagi bersama kakak dan adik laki-lakiku. Setibanya di sekolah, kursi kosong di sebelah kananku membuatku gelisah lalu akupun berjalan ke arah pintu kelas untuk mencari sahabatku “Vivi” selang beberapa saat aku mencari, dari kejauhan aku melihat Vivi sedang berbincang dengan wanita muda yang mungkin berusia awal 20 tahunan, ku hanya diam sambil menatap serius mereka berdua tanpa mengetahui arah pembicaraan mereka, tak lama kemudian Vivi pergi wanita itu tetapi dia tidak menyadari keberadaanku saat itu, dalam keheningan aku berpikir apa yang terjadi padanya.

“Hei, hei, hei,” sapaan itu memecah pandanganku dan berbalik melihat wanita muda itu melemparkan senyum padaku seakan sapaan untuk memulai pembicaraan, yang ada di pikiranku saat itu adalah wanita ini saudara dari Vivi tapi dia menghiraukannya lalu pergi meninggalkan kami.

Wanita itu berbicara kepadaku “Apakah kamu bisa membantuku?” memiliki kepribadian yang senang bersosialisasi dan selalu diajarkan untuk membantu orang lain membuatku tanpa ragu menjawab,

“Kakak mau dibantu apa?”

“Kamu mau ga menemaniku membeli perlengkapan alat tulis?”

“Iya kak aku bisa, ayo kita pergi.”

Kami pun berjalan meninggalkan sekolah, menyusuri jalan terdekat menuju pintu belakang sekolah di tengah perjalanan aku mengingat bahwa sebentar lagi aku akan memulai pelajaran di sekolah. Namun kuurungkan niatku untuk memberi tahunya, ku tetap diam hingga kami sampai tiba di toko alat tulis kantor terdekat dari sekolahku.

“Sekarang kakak mau pulang. Kamu bisa antar kakak lewat jalan itu, tidak?” tanyanya sambil menunjuk sebuah lorong sepi yang sering kulewati bersama teman-temanku saat bermain di hari libur. Dengan spontan, aku mengangguk. 

Aku pun bertanya-tanya, “Bukankah dia ini kakaknya Vivi? Lantas, mengapa dia tidak memberikan alat tulis itu pada Vivi?” Sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan tersebut, dia menggandeng tanganku dan memimpinku menyusuri jalan itu. Dia memegang tanganku begitu erat hingga aku tidak bisa melepaskannya. Semakin jauh kami menyusuri lorong itu, semakin kuat firasat buruk yang kurasakan.

“Apakah kamu takut?” Tanya wanita muda itu.

“Aku tidak takut namun merasakan hal yang aneh,” jawabku.

“Sekumpulan pria yang duduk di sana itu sepertinya orang jahat, seperti itu firasat anehmu?”

Tiba-tiba dia mengeluarkan buku yang baru saja dia beli di toko alat tulis tadi lalu merobek selembar kertas lalu memintaku memegangnya.

“Pegang ini, lalu masukkan barang-barang berhargamu dan lipat kertas itu dengan baik, inilah satu-satunya cara agar mereka tidak memaksa kita memberikan barang yang menurut mereka layak untuk dijual kembali.”

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia dengan sigap membantuku untuk membuka anting yang ada pada kedua telingaku dan memberikannya kepadaku untuk dimasukan ke dalam lipatan kertas yang telah kubuat, sebelum memasukan antingku, entah mengapa tiba-tiba terlintas ibu dalam pikiranku suatu peringatan namun kuhiraukan. Aku tidak tahu apakah itu pertanda baik atau buruk tapi aku tetap memasukkannya ke dalam kertas itu dan mempercayakan wanita muda itu untuk menyimpannya pada saku celananya.

Mempercayakan diriku bahkan barang berhargaku padanya adalah hal yang memang seharusnya kulakukan, sebagai anak yang berumur 6 tahun tidak bisa melindungi diri di situasi seperti itu. Dengan takut aku memegang erat tangannya saat kami semakin dekat dengan segerombolan pria-pria itu, bahkan aku menutup mataku sambil merasa tuntunan jalan oleh seorang bidadari dalam imajinasiku. Dengan suaranya yang lembut dia memberi tahu bahwa semuanya sudah aman dan baik-baik saja.

“Apakah mereka mengincar kita?” tanyaku kepadanya

“Sepertinya begitu, namun setelah melihat tidak ada barang berharga yang bisa dirampas dari kita, mereka lalu berbalik arah dan tidak menghiraukan kita sama sekali.”

Tidak terasa kami semakin dekat jalan yang sangat ramai, akhirnya kami tiba di sebuah halte bis yang belum pernah kumasuki karena orang tuaku belum pernah mengajakku ke luar kota saat libur sekolah tiba, namun hal tersebut tidak membuatku menjadi tidak bersyukur.

“Aku rasa sudah saatnya aku pergi, apakah kamu ingin pergi bersamaku?”

Mendengar ajakan tersebut membuatku memikirkan keluargaku yang sangat menyanyangiku, kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku, aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu ibuku jika aku telah pergi ke kayangan bersama bidadari yang sangat baik.

“Aku pikir, aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini, aku tidak bisa ikut denganmu.”

“Mengapa? Jika kau ikut denganku kau akan memiliki banyak teman yang bisa kau ajak bermain, mereka akan sangat senang kedatangan teman baru.”

“Kurasa tempatku bukan di sana, kedua orangtua dan saudaraku pasti lebih mengkhawatirkanku jika aku pergi tanpa memberi tahu mereka dahulu.”

“Baiklah, semoga kamu tidak menyesal.”

Setelah menolak ajakannya, dia merogoh saku tempat dia memasukan lipatan kertas milikku dan memasukan ke saku seragam merah putihku

“Ini adalah tempat teraman, kamu pakai jika sudah berada di tempat aman tapi alangkah lebih baik lagi jika kamu memakainya saat telah sampai di rumah.” 

Pict by unsplash.com

Akupun kembali pulang ke sekolah walaupun aku tahu pasti aku tidak akan mengikuti pelajaran hari pertama hari ini, entah mengapa aku merasa sama sekali tidak khawatir tentang hal itu padahal menuntut ilmu adalah hal yang membuat semangat di setiap kali aku membuka mata di pagi hari, aku merasa aku berada di dalam alam bawah sadarku hingga aku tersadar aku telah sampai di sekolah.

Vivi: “Darimana saja kau?”

Nida: “Aku baru saja membantu wanita yang tadi pagi berbincang denganmu.”

Vivi: “Apa yang telah kau lakukan bersama hingga membuatmu tidak mengikuti pelajaran yang pertama?”

Nida: “Aku hanya menemaninya membeli beberapa alat tulis lalu menemaninya pulang.”

Vivi: “Pulang?”

Nida: “Iya pulang, ku pikir dia memang bidadari yang mencari jalan pulang, lalu dia bertemu denganku dan membantunya, aku merasa berada di bawah kendalinya, auranya sebagai seorang bidadari memang sangat kuat.”

Vivi: “Kau sangat aneh, berbicara hal yang tidak masuk akal seperti sedang dihipnotis”

Nida: “Aku tidak dihipnotis hanya merasakan sesuatu yang aneh hari ini”

Vivi: “Sejak kapan kamu merasakannya”

Nida:”Sejak bersama wanita itu”

Vivi: “Kau aneh, aku curiga kau telah melakukan hal yang salah”

Pelajaran hari itu telah berakhir aku kembali ke rumah bersama kakak dan adikku, dijalan siang itu aku hanya terdiam sambil memandangi kedua saudaraku yang sudah tampak akur sambil memamerkan mainan yang mereka beli di sekolah tadi. Entah mengapa aku merasa bahwa aku dikendalikan oleh sesuatu yang membuatku meragukan diriku sendiri.

“Selamat siang ma, pa”

Teriakan yang sangat keras dari kedua saudara laki-lakiku membuat ibuku keluar dengan senyuman yang sangat manis siang ibu lalu menyuruh kami makan siang bersama ayah di ruang keluarga.

Ibu:”Nida, kenapa kamu terlihat gelisah?”

Nida: “Aku baik-baik saja ibu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku”

Siang itu aku mulai merapikan seragam sekolah dan buku-buku pelajaranku kemudian makan siang bersama di ruang keluaraga, tiba-tiba aku teringat anting-anting yang ada di bungkusan kertas pada saku seragamku, akupun bergegas menghabiskan makan siangku dan kembali ke kamar.

Nida: “Sepertinya kertas itu masih ada di saku seragamku” ucapku dalam hati.

Kemudian aku mendapatkan bungkusan kertas kecil itu masih rapih di dalam saku, ku tatap kertas itu dengan seksama, aku menyadari sesuatu dan langsung membukanya.

Nida: “Bagaimana ini? Aku takut ibu pasti akan memarahiku”

Dengan sangat takut, aku duduk diam di pojok kamar sambil memandangi kertas itu, bagaimana mungkin aku bisa sangat ceroboh untuk mempercayai seseorang yang tidak kukenal dan menyimpan barang berhargaku? Anting-anting emas yang kumiliki diambil oleh wanita muda itu dan di tukarkan dengan kertas kosong.

Malam hari pun tlah tiba, kedua orang tuaku pasti akan selalu menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga dan benar saja, Ibuku berjalan mendekat dan kemudian mengusap lembut rambutku, aku langsung merasakan detak jantungku berhenti sesaat dan diwaktu bersamaan aku merasakan hangatnya tangan ibuku yang penuh dengan cinta kasih untuk anak-anaknya.

Ibu: “Ke mana anting-antingmu Nida?”

Nida: “Oiya ibu, hari ini aku bertemu dengan seorang wanita yang usianya jauh di atasku mungkin dia berusia 23 atau 24 tahun.

Ibu: “Apa yang telah kalian lakukan?”

Nida: “Aku hanya menemaninya untuk berbelanja beberapa perlengkapan alat tulis kantor, tapi kurasa dia adalah seorang malaikat yang tersesat namun tidak menemukan jalan pulang.”

Ibu: “Jangan lanjutkan omong kosongmu itu.”

Keesokan harinya pun, kedua orang tuaku mendatangi Sekolah dan menceritakan hal tersebut kepada wali kelasku, beliau pun memanggilku untuk menjelaskan hal yang terjadi kemarin, Vivi pun juga ikut menjadi saksi akan kejadian tersebut karena wanita itu sempat berbincang dengannya.

Setelah mendapatkan informasi dari kami, pihak sekolah pun membuat laporan ke kantor polisi, bisa saja itu adalah motif penculikan anak dengan cara masuk ke dalam area sekolah kemudian membujuk para siswa untuk mengikutinya ke suatu tempat.

*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 388
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?