Majalah Sunday

Ingin Bunuh Diri, Apa yang Harus Aku Lakukan?

Penulis: Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.
Editor: Abdul Aziz – UNJ

Saya sangat lelah mendengar perkataan orang tua saya yang kasar, memaki dan menyumpahi saya setiap harinya. Apa yang harus saya lakukan ketika berpikir untuk bunuh diri?
– Curhat pembaca Sunday via chat

Keinginan bunuh diri bisa dialami semua orang dari berbagai kalangan dan usia. Tak peduli remaja, dewasa, bahkan usia lanjut. Munculnya juga bisa dari berbagai hal, mulai dari kehilangan orang terdekat, terlilit hutang, perkataan orang tua yang kasar, atau terancam tidak lulus kuliah. Belakangan ini, misalnya, sempat ada berita mahasiswa meninggal bunuh diri karena skripsinya selalu ditolak dosen.

Sebenarnya saya adalah salah satu orang yang pernah mengalaminya, yakni memiliki keinginan bunuh diri atau suicidal thought. Tapi, saya berhasil mengeluarkan diri dari cengkeraman suicidal thought secara perlahan-lahan. Waktu itu saya sedang menghadapi cobaan hidup karena terkena penipuan dan uang saya tidak bisa dikembalikan, padahal uang tersebut adalah hasil kerja keras saya selama berbulan-bulan dan akan saya gunakan membayar kuliah. 

Rasanya dunia seperti hancur di bawah kaki saya. Setiap hari saya selalu menatap ke luar jendela kamar dan membatin, “Apakah saya masih layak untuk hidup?” Tidak ada yang mengetahui pergulatan batin saya itu karena saya merahasiakannya, dan saya yakin bagi mereka yang sudah pernah merasakan hal yang sama juga enggan membicarakan hal ini. 

Pengalaman kedua terjadi pada teman saya. Waktu masih kuliah dulu, saya sering nongkrong di selasar kampus bersama salah satu teman dekat saya. Suatu hari, ketika kami sedang asyik nongkrong, teman saya berkata, “Kalau aku mati aja gimana, ya?” 

Saya yang mendengarnya awalnya hanya menganggap dia bercanda, dan tidak mengindahkannya. Teman saya ini sudah pernah punya riwayat depresi, sudah keluar-masuk psikolog beberapa kali. Tanpa saya kira, beberapa waktu kemudian saya mendengar bahwa ada seorang klien yang dibawa ke dosen saya untuk ditangani karena self-harming alias menyakiti diri. 

Usut punya usut, kliennya ini sudah sudah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Setelah mendengar pengalaman dosen saya tersebut, saya jadi merinding. Apakah jangan-jangan yang dikatakan teman saya waktu itu adalah suicidal thought? Kalau seandainya suicidal thought tersebut terjadi pada kita, apa yang harus kita lakukan? 

Suicidal Thought dalam Psikologi

selective focus photography of Star Wars Stormtropper minifigure on sand

Pemikiran bunuh diri atau suicidal thought biasanya diutarakan oleh orang-orang yang mengalami depresi. Menurut DSM-5, sejumlah gejala utama penderita depresi adalah berkurangnya nafsu makan, kecenderungan menarik diri dari lingkungannya, hilangnya gairah hidup, tidak mampu berkonsentrasi, hingga keinginan bunuh diri. 

Menurut para ahli, suicidal thought atau pemikiran untuk bunuh diri biasanya akan muncul secara tiba-tiba apabila seseorang mengalami keputusasaan, beban mental, ketidakmampuan meregulasi emosi, dan kurangnya social support ketika mengalami depresi (Franklin & Ribiero, 2017). 

Depresi bisa disebabkan oleh pengaruh bawaan, namun pemikiran negatif yang dirasakan seseorang saat depresi biasanya juga akan diperkuat oleh kondisi lingkungan. 

Bagaimana Mengendalikan Suicidal Thought?

1. Kenali emosi negatif yang muncul, lalu tuangkan.

Bagi seseorang yang sudah terlanjur mengalami suicidal thought, sulit sekali rasanya untuk mengembalikan diri agar tidak tenggelam dalam pemikiran negatif. Saya pun demikian. Butuh waktu berminggu-minggu bagi saya untuk bisa bangkit. Ada satu hal yang perlu diingat, bahwa pikiran kita bisa dipengaruhi oleh emosi dan mood. 

Menurut David G. Myers, emosi adalah suatu keadaan psikologis yang kompleks, yang melibatkan rangsangan secara fisiologis, perilaku ekspresif, dan pengalaman sadar. Sedangkan mood atau suasana hati adalah suatu keadaan emosi yang spesifik, yang bisa berlangsung selama beberapa jam, hari, atau berbulan-bulan, dan biasanya diekspresikan melalui nada bicara atau perilaku tertentu (Amado-Boccara, et. al., 1993). 

Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa mood akan lebih mudah ditangkap dan disadari oleh orang lain, karena mood ditampakkan oleh perilaku kita terhadap lingkungan. Namun, kita juga bisa belajar mengenali perubahan emosi dan mood kita sendiri. Cara paling mudahnya adalah dengan menuliskan apa yang kita rasakan saat itu. 

Tentu saja, saya tidak menyarankan untuk curhat di medsos, karena media sosial sangat rawan dengan banyaknya judgment atau prasangka orang terhadap kita. Sebagai gantinya, kamu bisa menuliskannya di notes atau diary

Pada masa-masa kuliah dulu, saya biasanya suka membawa diary saya ke mana-mana, sehingga bila saya merasa down, saya bisa menuangkan perasaan saya ke dalam diary tersebut. 

Kadang saya juga menyalurkannya ke dalam puisi. Tidak hanya membuatmu merasa lega, mengekspresikan emosi melalui tulisan juga bisa meningkatkan well being, baik secara fisik maupun mental (Lepore, et. al., 2002).

2. Tenangkan dirimu, lalu terapkan strategi coping.

Coping adalah suatu respon perilaku yang digunakan untuk mengurangi risiko tekanan mental yang diakibatkan oleh stres, yang bersifat konsisten dari waktu ke waktu (Algorani, et. al., 2020). 

Secara psikologis, ada suatu sistem di otak kita yang dinamakan HPA (hypothalamus-pituitary-adrenocortinal axis) akan teraktivasi otomatis bila stressor menyerang, mengikuti aktivasi sistem saraf simpatik, namun proses ini bisa berbeda-beda antar individu disebabkan oleh pengaruh genetik dan lingkungan (Ising & Holsboer, 2006; Taylor, et. al., 2005). 

Maka dari itu, strategi coping setiap individu pun akan berbeda-beda. Strategi coping dibagi menjadi dua macam, emotional based (secara emosional) dan problem based (melalui penyelesaian masalah). Kedua strategi ini memfasilitasi individu secara berbeda-beda. 

Emotional based akan lebih fokus pada meredakan emosi negatif, sedangkan bila kamu ingin lebih menyelami akar masalah, kamu harus menggunakan problem based coping. Strategi ini biasanya akan dibantu oleh psikolog melalui sesi konseling.

Stres berkepanjangan bisa menyebabkan kamu terbawa pikiran negatif. Di sisi lain, kamu memang tidak bisa serta merta meredakan stres dengan sekali coping, sehingga kamu juga harus menindaklanjutinya dengan langkah ketiga.

3. Ingatlah, kamu tidak sendirian.

Saat pikiran bunuh diri saya muncul, saya merasa seperti orang yang tak bisa berbuat apa-apa. Secara teknis, saya berpikir bahwa jalan keluar satu-satunya dari masalah saya adalah mengakhiri hidup. 

Namun kemudian, saya teringat bahwa saya tidak sendirian di dunia ini. Banyak orang yang bisa membantu saya. Mungkin mereka tidak bisa mengembalikan uang saya, tetapi mereka bisa memberi saya dukungan emosional. Entah siapa pun itu. 

Demikianlah, dukungan sosial memang penting bagi ketahanan emosi individu yang depresi. Di samping dukungan sosial, ada dukungan spiritual yang bisa kita dekati. Suatu riset dari Bonelli, et. al. (2012) melaporkan bahwa praktik spiritualitas dan agama dapat menjadi strategi efektif dalam menguatkan mental individu saat depresi. 

Entah kalian percaya atau tidak dengan Tuhan, yakinlah bahwa alam semesta tidak pernah meninggalkan kita. Semua kejadian di dunia ini tak pernah terjadi secara kebetulan, termasuk ketika kamu lahir untuk merasakan pahit manisnya kehidupan. 

yellow and white round plastic toy

Rasa Ingin Bunuh Diri # Mengembalikan Ketahanan Mental

Setelah mengalami masa-masa yang berat dan depresi, kamu membutuhkan pemulihan kesehatan mental agar ke depannya kamu bisa kembali menjalani hidup. Ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan, antara lain:

1. Self-care

Self-care bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain tidur cukup, menjaga pola makan, dan berolahraga. Kamu juga bisa berjalan-jalan dan mencari kesibukan atau hobi baru. 

Menurut sebuah penelitian dari Pilkington dan Weiland (2020), self care dapat membantu individu dengan depresi dan kecemasan untuk menjaga kesehatan mental dan mengembalikan pikiran positif.

2. Temukan self help community

Orang-orang yang baru pulih dari depresi atau gangguan mental membutuhkan dukungan sosial untuk menjalani hidup. Menurut penelitian Alsubaie (2018), social support yang berasal dari luar individu, baik itu dari teman, keluarga, atau komunitas, dapat meningkatkan kualitas hidup klien dengan depresi. 

Maka dari itu, sebagai pendukung kamu untuk bangkit, kamu bisa melakukan reach out ke komunitas-komunitas yang terdiri dari orang-orang yang pernah mengalami hal serupa. Siapa tahu cerita-cerita yang mereka sampaikan dapat menjadi saran yang inspiratif bagimu.

3. Berikan waktu pada diri sendiri untuk refleksi

Setelah mengalami banyak tekanan, kamu tentunya memerlukan waktu untuk berkaca dan menemukan kembali jati dirimu. Jangan terburu-buru dan memaksa diri untuk pulih. Proses setiap orang untuk pulih berbeda-beda. 

Yang penting, dalam proses refleksi diri, manfaatkanlah untuk merenung dan bersyukur dengan apa yang sudah kamu miliki. Rasa syukur ini dapat membantumu untuk melihat bahwa ada sisi lain dari kehidupan yang positif dan berpikir here and now tanpa mengkhawatirkan masa depan. 

Penelitian Petrocchi & Couyoumdjian (2013) melaporkan bahwa bersyukur dapat memfasilitasi hubungan yang baik antara individu dengan dirinya sendiri serta dengan orang lain, sehingga well being secara psikologisnya akan terjaga.

4. Jangan skip konseling dan terapi

Menjalani hidup setelah depresi bukan berarti kamu tidak membutuhkan pendampingan psikologis untuk ke depannya, sehingga akan lebih baik bila kamu tetap berhubungan baik dengan konselor, psikolog, atau terapis. 

Apabila sudah membuat janji bertemu untuk konseling, usahakan patuhi janji tersebut karena setiap pertemuan akan sangat berarti bagi progress kesehatan mentalmu.

Rasa Ingin Bunuh Diri # Semua Tergantung Padamu

silhouette of person standing on the road during night time

Di akhir kata, sebagai manusia, kamu diberi free will atau kebebasan untuk memilih. Artinya, kamu punya pilihan untuk tetap hidup atau mengikuti keinginan untuk mengakhiri hidupmu. 

Tapi ingat, manusia juga diberi akal untuk memikirkan setiap konsekuensi yang mungkin dihadapi ketika pilihan itu kita buat. Maka dari itu, kamu tidak hanya bisa mengandalkan orang lain untuk membuat kamu menjadi lebih baik dan keluar dari kesulitan. 

Tidak peduli berapa kali kamu pergi menghadiri terapi, melakukan self care, atau punya support grup yang banyak, jika kamu tidak bisa merubah cara pandangmu tentang suatu hal, maka kamu tidak akan bisa keluar dari keterpurukan yang kamu rasakan, baik itu dalam keadaan depresi, cemas, dan lainnya. 

Sekali lagi ingat, yang bisa kamu andalkan untuk bangkit hanya diri kamu sendiri.

oleh: Neraca Cinta Dzilhaq, S.Psi.
*artikel ini merupakan kerja sama antara Majalah Sunday dengan KampusPsikologi.com

logo kampuspsikologi

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 769
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?