Majalah Sunday

Jam Tua Kakek

Penulis: Kira – Universitas Peradaban
Editor: Nur Amalina Husna

Semasa hidupnya kakek penyuka barang antik. Segala barang berbagai tahun lampau ia miliki. Salah satunya jam tua yang terletak di ruang keluarga. Katanya jam tua yang memiliki model seperti lemari dengan mesin mekanik rumit di dalamnya ini merupakan warisan tuan Belandanya. Iya, semasa penjajahan dulu kakekku seorang pelayan di rumah orang Belanda. Semenjak kemerdekaan dan tuan Belanda terusir, jam tua itu diwariskan kepada kakek.

Saat aku kecil, aku suka sekali menatap jam tua itu. Menarik, berbeda sekali dengan barang antik kakek yang lain. Ukiran-ukiran elok di kayu jatinya serta mekanisme lempengan besi di dalamnya yang membuat jam itu terus berdetak. Ah iya, jangan lupakan  suara dentingan keras setiap jamnya terdengar sakral.

“Cantik, kan?” ucap kakek menanyakan pendapatku mengenai jam tua yang berada di hadapanku saat itu.

“Iya, kek. Cantik sekali dan sakral.”  Ada jeda di akhir kalimatku dan kakek hanya tertawa menanggapinya.

“Memang sakral jam tua ini karena usianya hampir satu abad, ada banyak sekali cerita di dalamnya.”

“Cerita, kek?” tanyaku tidak paham.

“Iya, layaknya manusia yang dapat mengingat apa yang dilihat, jam ini juga dapat merekam kejadian di hadapannya tetapi yang ia rekam tak dapat diungkapkan. Jadi benda mati disebut saksi bisu.”

“WH, keren. Kira-kira kejadian apa yang pernah ia saksikan, ya kek?” 

“Coba kamu bertanya padanya,” aku hanya menatap kepergian kakek dengan wajah bingung. Bagaimana caranya bertanya kepada jam tua bila ia sendiri adalah benda mati.

Jam Tua Kakek, pict by canva.com

Kenangan yang kembali berkelebat di ingatanku akan masa lalu kembali muncul saat akhirnya saat ini aku berada di rumah kakek. Aku yang mulai beranjak dewasa dan mengenal dunia kerja mulai terkikis akan masa kecilku serta melupakan jam tua hingga akhirnya seminggu yang lalu saat aku masih sibuk dengan urusanku di Bandung aku dikabarkan bahwa kakek meninggal di usianya kepala sembilan. Di sinilah aku di rumah kakek daerah Solo. Rumah tradisional joglo yang sangat luas. Banyak sekali pajangan-pajangan maupun tembikar antik serasa aku hidup kembali di jaman kerajaan dulu. Seperti yang aku katakan, kakek penyuka barang antik. 

“Kinan, ayo bantu bantu bulik nyiapin makanan. Nanti habis ba’dha isya kan ada tahlilan,” ujar bulik Laksmi. Bulik Laksmi adalah anak bontot kakek dan adik ketiga ayahku. Walaupun usianya sudah kepala lima, sisa-sisa kecantikan wanita Jawa masih terlihat padanya.

Aku mengiyakan ajakan bulik Laksmi. Kemudian, beliau yang memang kebetulan dari pasar masuk ke daerah belakang rumah. Aku mengikutinya, dari ruang tamu menatap barang antiknya yang terpajang rapi. Bila dilihat lebih saksama barang antik ini tidak ada tanda-tanda kusam seperti halnya barang lama. Sepertinya kakek semasa hidupnya begitu rajin merawat benda-benda ini. Saat akhirnya aku berada di ruang keluarga aku menatap jam tua itu. Ia masih berdiri gagah di samping jendela kayu. Entah bagaimana seperti ada magnet yang menarikku mendekati jam tua itu. Aku menatapnya. Masih terlihat elok rupanya berdiri dengan gagahnya masih mengkilat seperti baru dipernis kemarin dan tak ada tanda-tanda pengeroposan.

Aku merabanya, merindu akan masa kecilku yang samar-samar bermain dengannya, “akhirnya Kinan pulang,” terdengar suara bisikan anak perempuan di telingaku. Aku menatap penjuru ruangan. Kirannya siapa yang menyambutku.

“Kinan, cepat ke dapur!”

Teriakan bulik Laksmi menyadarkanku dari bisikan anak perempuan yang entah tak tahu di mana tubuhnya, aku membalas teriakan bulik Laksmi dan berjalan ke dapur.

Cerita Dibalik Jam Tua Kakek, pict by canva.com

Tamu terakhir dalam acara tahlilan almarhum kakek telah keluar yang sebelumnya bercengkerama dengan ayahku. Beberapa wanita melipat tikar dan mengangkat beberapa piring, sedangkan pria-pria duduk bersila di teras depan rumah salah satunya ayahku. Perasaan atas meninggalnya kakek sangat terasa, bahkan rumah joglo yang cukup luas ini merasakan kehilangannya pula.

Malam menunjukkan pukul sembilan, semua orang kembali ke kediaman masing-masing seperti halnya bulik Laksmi yang memiliki rumah sendiri di samping rumah joglo kakek. Hanya ayah saja seorang perantauan yang memiliki rumah jauh sehingga aku, ibu, dan ayah menginap di rumah kakek. Malam semakin larut, suasana di rumah almarhum kakek terasa sunyi. Kamarku yang bersebelahan dengan ruang keluarga bahkan dengan pintu kamar tertutup dapat aku dengar suara detak jam tua itu. Dengan aku yang tidak dapat tidur entah bagaimana mataku ini selalu tertuju ke arah pintu. Seakan-akan ada seseorang yang berdiri dibaliknya. 

“Mungkinkah ibu?” tanyaku lirih pada diriku sendiri, namun tidak yakin.

“Ibu,” ucapku sedikit keras. Sunyi, tidak ada yang menjawab.

“Ark,” aku tersentak saat aku tak sengaja menatap jendela dengan gordennya tidak tertutup dengan betul. Aku melihat wajah anak perempuan yang sangat cantik tetapi pucat. Wajah anak perempuan itu bukanlah wajah pribumi melainkan wajah anak belanda dengan rambut khasnya, pirang.

Aku menduga-duga siapa anak itu. Mengapa ia bisa di luar jendela kamarku, tetapi ia telah pergi. Atau yang aku lihat hanyalah ilusi semata sebab sehari ini aku cukup sibuk.

“Iya, paling aku hanya lelah saya,” mencoba mengenyahkan pikiran negatif diotakku aku beranjak dari kasueku menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. 

Aku menduga-duga siapa anak itu. Mengapa ia bisa di luar jendela kamarku, tetapi ia telah pergi. Atau yang aku lihat hanyalah ilusi semata sebab sehari ini aku cukup sibuk.

“Iya, paling aku hanya lelah saya,” mencoba mengenyahkan pikiran negatif diotakku aku beranjak dari kasueku menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. 

ada apa dengan jam tua kakek

Misteri Jam Tua Kakek, pict by canva.com

Aku membuka pintu kamar yang pertama terlihat adalah jam tua seukuran lemari itu persis menghadapku. Aku tersentak untuk kedua kalinya dalam beberapa menit ini aku melihat bayangan wajah anak perempuan itu lagi di kaca lemari jam tua dan ia kembali menghilang.

Aku semakin kesal saja. Tubuhku sudah sangat lelah tetapi mataku tidak mau berkompromi dengan tubuh dan aku harus dihadapkan dengan bayangan wajah seorang anak bule. Akhirnya aku berjalan cepat ke dapur mengambil airku dan tidur.

Mengambil tidaklah lama tetapi perasaan di diriku ini sangat lama seakan waktu melambat. Perasaanku semakin was-was. 

Tak tak tak

Aku mendengar suara sepatu berlarian. Langsung badanku aku putar untuk melihat siapa gerangan yang berlarian dengan sepatu di malam hari di dalam rumah pula. 

“Kinan, ayo main.” Bisikan itu lagi seperti siang tadi. Napasku memburu. Siapa yang membisiku.

“Si-siapa itu?” tanyaku dengan siara gagap. Entah bagaimana aku merasakan takut luar biasa. Mendadak tubuhku panas dari jempol kaki hingga ubun-ubun. Aku memegang gas dengan erat. Masa bodoh bila gelas itu tiba-tiba pecah.

Tak tak tak

Suara tapak kaki itu lagi. Aku menatap dibalik tembok pembatas antara dapur dan ruang keluarga dengan perasaan luar biasa takut dan napasku memburu.

“Kinan, ketemu.” Suara itu dari arah kamar mandi dan aku yakin pintu kamar mandi tertutup rapat tetapi yang aku lihat saat ini adalah kepala anak perempuan melongok dari dalam kamar mandi dengan rambut pirang panjang menjuntai hampir menyentuh lantai jangan lupakan wajah pucatnya. Namun yang menambah kengerian adalah matanya melotot sangat besar seakan-akan bola matanya akan keluar dari tempatnya, mulutnya menyeringai sangat lebar hampir menutupi sebagian pipi dan dagunya.

Tiba-tiba dari balik pintu kamar mandi seonggok tangan kurus, kering, putih pucat, dan kuku panjang meruncing keluar dan menunjukku.

Aku yang menatapnya hanya bisa diam tidak bisa bergerak apa lagi berteriak. “Kinan, kamu jaga.” Suaranya pelan tapi aku dapat mendengar dengan jelas.

Entah bagaimana aku akhirnya dapat bergerak. Arah tujuanku ke kamar orang tuaku. Aku menggedor pintu kamar orang tuaku, tetapi nihil, seperti kamar orang tuaku terlapis gelembung kedap suara sehingga tidak ada respon apa pun. 

“Tolong jangan ganggu aku.” Pintaku pada siapa pun yang mendengar.

Ahahahaha. Suara tawa khas anak-anak. Aku menatap ke sekeliling dengan nyalang tidak ada anak itu atau hantu anak itu.

Ada yang menusuk pipiku. Aku mencoba dengan pelan menatapnya ternyata hantu anak perempuan itu berdiri di hadapanku dengan badan utuh. Menyeringai mengerikan. Kuku lancipnya menusuk sangat dalam hingga aku merasakan perih. Dengan kekuatan seadanya aku tepi tangannya dan pergi ke kamar.

Tidak bisa. Pintu kamarku tidak bisa di buka. Mengapa? Perasaan aku tidak menguncinya, “tolong buka pintunya!” teriakku frustrasi akan ketakutan yang aku rasakan.

Karena tidak ada perubahan dari pintu kamarku, aku mencoba melarikan diri ke ruang tamu dan mencoba membuka pintu keluar. Setidaknya dengan aku keluar dari rumah ini aku baik-baik saja.

Tidak bisa. Sama sekali tidak bisa di buka.

“Kinan, kamu jaga. Jangan kamar,” suara itu lagi. Aku menatap hantu anak perempuan  yang berdiri di balik sofa yang memisahkan diriku dengan dirinya. Aku menatap baju putih lusuhnya terdapat bercak darah merah dan terlihat masih basah. Bahkan dari darah dari perutnya mengalir memberikan garis-garis merah dan menetesi lantai.

“Apa maumu?” tanyaku frustrasi. Ia diam tidak menjawab.

Hingga tiba-tiba semua barang antik kakek yang terpajang di pinggir ruang tamu kakek jatuh dan berserakan, pecah di mana-mana. Napasku memburu semakin membuncah adrenalin ketakutanku. Apakah ia marah.

“Kamu lupa aku, Kinan?” lupa apa? Apakah aku melupakan sesuatu

Pergi. Itu yang ada dipikirkanku. Aku mencoba putar balik melewatinya mencoba mendobrak pintu kamar orang tuaku membangunkan mereka bahwa rumah kakek berhantu.

“Itu tidak pernah bisa berhasil.” 

“DIAM!!!” aku seperti diburu waktu, “Aku mohon buka pintunya,” pintaku dengan derai air mata.

Seseorang memutar tubuhku dari pintu kamar orang tuaku. Aku menatap jam tua dan hantu anak perempuan itu yang berdiri di sebelah jam tua.

Entah bagaimana, aku terhipnotis. Badanku berjalan perlahan ke arah jam tua tetapi jiwaku menentang sangat keras. Hingga akhirnya aku berdiri berhadapan dengan jam tua.

“Apa maupun?” tanyaku susah patah.

Tidak ada jawaban dari hantu anak itu. Ia hanya mengusap lemari kayu jam tua ini.

Seakan tersentak, aku seperti masuk dalam sebuah lorong dengan cahaya bergaris-garis dan akhirnya aku berasa di sebuah rumah bergaya belanda bata merah, di siang hari. Aku terkesiap ada seorang wanita muda berwajah eropa paras cantik dengan rambut pirang berlumuran darah. Aku menatap kembali ke arah lain seorang anak perempuan, “hantu anak itu,” ucapku.

Merangkak tertatih-tatih dengan tangisan ketakutan dan di belakangnya seorang pria tinggi berwajah eropa tetapi aku melihat tidak ada kesamaan dengan si anak, dengan setelan rapi serta ada beberapa bercak darah di pakaiannya memegang sebuah pisau berjalan perlahan ke arah anak itu.

“Jangan, kumohon,” pintaku lirih tetapi badanku tidak dapat bergerak.

“Jalang! Berani-beraninya kau lahir ke dunia ini. Kau dan ibumu sama-sama jalang. Berani-beraninya mengkhianatiku dari belakang.” Pisau di tangan pria itu melayang dan menembus perut anak perempuan itu. Lima kali tusukan.

Aku hanya dapat menatap dan napasku putus-putus karena apa yang aku lihat sangat mengerikan. Darah menciprat ke mana-mana. Di beberapa sisi lantai tergenang darah.

Anak perempuan itu mati mengenaskan dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. Kengerian sangat terlihat kental. 

Pria itu menyeringai bengis dan tertawa tapi yang membuatku terkejut. Pisau yang sebelumnya masih tertancap di tubuh anak itu ia ambil dan menusuk dadanya tepat di mana jantung berada. Pria itu akhirnya tumbang bersama istri dan anaknya.

Jam tua berbentuk lemari berdiri di belakang tubuh anak perempuan itu. Berdiri dengan gagah dan tak acuh akan kejadian yang terjadi di hadapannya. Ia adalah saksi bisu atas kematian satu keluarga ini.

Hah hah hah

Napasku sesak, bulir-bulir keringat bermunculan di dahi bahkan sekujur tubuhku penuh keringat. Aku menutup mataku untuk menenangkan diriku. Saat membukanya aku kembali ke ruang keluarga rumah joglo kakek. 

“Kau melihatnya,” suara itu.

Hantu anak perempuan itu masih berdiri di samping lemari jam tua tetapi yang berbeda adalah wajahnya tidak semengerikan yang ia tunjukan beberapa menit yang lalu. Matanya sebesar kacang almond dengan bulu mata lentik dan bibirnya tipis mungil. Pakaian yang ia pakai berubah menjadi gaun putih bersih tidak ada darah mengalir dan menetes. Ia hanya hantu anak perempuan yang manis.

“Kinan, ayo main.”

Selanjutnya, aku bermain dengannya duduk mendekat ke arah jam tua. Terkikik sendiri seperti aku memahami apa yang diucapkan hantu anak perempuan itu. Aku seperti terhipnotis bermain sangat gembira dengannya bahkan sampai aku tertawa terbahak-bahak.

Aku mendengar pintu kamar orang tuaku terbuka menatap mereka berdua dengan bibir menyeringai. 

“Kinan, kamu…”

 

TAMAT

*****

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 140
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?