Majalah Sunday

Cinta Beda Agama: Selepasnya

Penulis: Isnaini Nuansa – UNJ

Sunners, kalian pernah mengalami cinta beda agama nggak sih? Pasti berat sekali ya kalau beda keyakinan, mungkin cerpen berikut bisa sesuai sama keadaan Sunners nih!

CERPEN CINTA BEDA AGAMA: SELEPASNYA

Apakah kamu pernah mengalami cinta beda agama? Majalah Sunday ingin berbagi satu cerita pendek yang mungkin relate dengan kamu

Gambar pena menggambar bentuk cinta, pict by canva.com

Udara dingin yang menghampiri tubuh perempuan yang tengah berjalan itu membuatnya mengeratkan jaket. Selepas pulang dari pekerjaan yang memuakkan itu, ia benar-benar masih harus berjuang dengan berkutat di transportasi umum yang ramai. Langkahnya pelan, ia turun dari halte bus dan berjalan menuju rumahnya yang nyaman.

Dingin sekali, ujarnya dalam hati. Hujan yang turun beberapa menit lalu masih menyisakan udara dingin. Matanya melihat ke arah kafe yang tidak terlalu ramai itu, sejak dibukanya kafe itu di dekat rumahnya, Sara tidak pernah mencoba membeli kopi di sana. Ia berbelok, mencoba membeli satu kopi untuk menghangatkan tubuhnya.

Dibukanya pintu yang gagangnya ikut mendingin itu, ia berjalan menuju kasir dan memesan menu.

Take away kak?”

“Iya, pembayarannya pakai qris bisa?”

“Bisa kak, scan di sini ya.” Kasir itu menunjuk ke barcode yang ada di samping mesin kasirnya, membuat Sara mengeluarkan ponsel untuk melakukan pembayaran. Dua gelas kopi untuk dibawa pulang, ia membelikan juga untuk adiknya yang kebetulan menyukai kopi. Sara tahu adiknya sering ke sini beberapa kali dengan teman sekolahnya yang sepertinya adalah orang yang ia sukai. Ah, suasana di sini memang nyaman sekali. Pantas adiknya memilih menjadikan ini tempat untuk melakukan pendekatan pada gadis yang ia sukai.

“Atas nama Kak Sara!” Ia bangkit dari kursinya, mengambil pesanan dan pulang dengan bertekd ia akan sering ke sini selepas pulang kerja atau di hari liburnya. Setidaknya biarkan ia mencicipi kopinya terlebih dahulu di rumah dan menilai rasanya.

Apakah kamu pernah mengalami cinta beda agama? Majalah Sunday ingin berbagi satu cerita pendek yang mungkin relate dengan kamu

Sudah beberapa kali perempuan itu mampir di kafe ini, kopinya yang enak serta tempatnya yang nyaman membuatnya menjadi kafe langganan. Hari ini di hari liburnya ia memilih untuk duduk di kafe sebentar sembari melakukan pekerjaan di laptopnya. Ya, di hari libur seperti ini ia tetap harus memikirkan konten untuk dibuat.

Matanya fokus pada layar laptop, tanpa sadar ia hanya mengangguk saat kopi serta makanannya diantar. Setelah beberapa menit, ia mematikan laptopnya dan menutup layar. Dahinya mengernyit, ia tidak memesan kopi hangat di siang hari yang cerah ini. Perempuan itu berdiri, membawa kopinya untuk komplain karena ia memesan kopi dingin.

“Mas, saya nggak pesan kopi hangat.”

“Pesanan meja nomor berapa ya kak?”

Ia melirik sebentar ke meja untuk melihat nomornya dari kejauhan. “Dua belas.”

Sara melihat lelaki di depannya yang fokus mencari daftar pesanan, sebenarnya ia tidak enak hati juga karena komplain seperti ini tentu akan merepotkan. Namun, ia benar-benar tidak ingin minum kopi hangat di siang hari yang terik begini.

“Oh iya maaf kak atas kelalaiannya, akan segera kami ganti yang baru ya.” Ujarnya ramah, membuat Sara mengangguk dan menunggu kembali di tempat duduk bernomor dua belas itu. Ia sembari memakan kue manis yang memanjakan lidahnya serta hatinya. Mengapa ia tidak berada di kafe ini sejak ia baru dibuka ya? Padahal dekat sekali dari rumahnya.

“Pesanannya ya kak.” Sara tersenyum kecil sembari mengucapkan terima kasih. Melihat nama di seragam salah satu pegawai kafe tersebut, Halim. Wajahnya memang tidak asing, seperti pernah melihatnya di mana tapi mungkin itu hanya pikirannya saja. Beberapa orang di dunia ini memang punya kembaran ‘kan.

Apakah kamu pernah mengalami cinta beda agama? Majalah Sunday ingin berbagi satu cerita pendek yang mungkin relate dengan kamu

Suasana yang tenang dengan segelas kopi dingin yang kembali ia beli selepas keluar dari kafe. Karena tidak enak kemarin sudah komplain, ia membeli lagi hari ini untuk dibawa pulang, tapi pikirannya tiba-tiba kacau karena notifikasi pesan dari atasannya. Karena hari ini hari libur nasional dan kemarin hari minggu, atasannya pasti tetap memikirkan kelangsungan perusahaan dan membuatnya juga ikut-ikutan. Ia memilih untuk mendamaikan pikiran sembari berjalan di taman, keputusan yang baik karena di siang menjelang sore ini cuacanya tidak lagi terik dan taman belum terlalu ramai. Dua jam lagi pasti ramai, sore hari memang biasanya anak-anak kecil akan mulai berkumpul di taman seperti sebuah kebiasaan turun menurun.

Matanya menangkap laki-laki yang familiar, pegawai kafe yang menerima komplainnya kemarin. Binar di matanya tampak tidak ada, tatapannya sendu melihat rerumputan. Ia seperti melihat orang yang berbeda dengan yang kemarin memberikan senyum ramah menanggapi komplainnya. Meski Sara tahu, itu adalah prosedurnya tapi kali ini ia terlihat sedih dan butuh bantuan. Perempuan itu menghampiri, duduk di sebelahnya seolah sudah saling kenal.

“Mas apa hari ini shiftnya udah selesai?” Laki-laki itu nampak terkejut dan menengok ke arahnya, ia juga sepertinya mengenali Sara. Perempuan itu mungkin akan dicap aneh dan sok kenal karena tiba-tiba melontarkan pertanyaan.

“Ah iya, udah mbak.” Jawabnya. “Mbaknya ke sini, karena saya keliatan menyedihkan ya?”

Sara mengangguk. “Sedikit.”

“Kalo sedikit enggak mungkin duduk di sini.”

“Iya banyak, penasaran karena muka Masnya beda banget sama yang kemarin, ramah dan ceria.”

Laki-laki itu menghela napas. “Itu prosedur.”

“Saya tahu, tapi tetep penasaran hari ini Masnya kenapa.”

Ia terdiam, lelaki itu terdiam sebentar seperti memikirkan apa tepat ia berbagi pertanyaan yang membuat hatinya tidak karuan akhir-akhir ini.

“Mbak kalau dikasih pertanyaan apa yang dikejar dalam hidup ini, Mbak jawab apa?”

Meminum kopinya, Sara berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan laki-laki yang baru ia temui kemarin itu. “Seharusnya saya jawab uang, karir, pendidikan, dan lain sebagainya tapi saya rasa bukan itu jawaban yang kamu cari ‘kan? Karena jawaban itu semua orang tahu.”

Sara menatap ke depan, pada rumput-rumput yang ikut bergerak karena angin menerpanya. “Yang dikejar dalam hidup ini, ya kehidupan itu sendiri.”

“Mas pernah denger kalo hidup itu kayak lagi baca buku novel?” Sara menengok, melihatnya. “Di tengah-tengah pasti novel itu punya konflik yang bikin capek, tapi kalo Mas berhenti baca di pikiran Mas ya novel itu punya akhiran yang seperti itu, tapi kalau Masnya nunggu sampai ending ceritanya, meski nggak menjamin dapat akhir yang bahagia tapi setidaknya masih punya peluang antara kebahagiaan dan kesedihan sedangkan kalau mas berhenti di tengah konflik yang runyam itu Masnya cuma dapet satu kemungkinan dan yang Mas dapet itu konfliknya.”

Ia melanjutkan. “Kadang-kadang kita terlalu banyak mencari alasan, tapi sebenernya Masnya suka buat kopi dan tetep hidup buat itu aja udah jadi suatu keindahan.”

“Saya suka kopi buatan kafe tempat Masnya kerja, semua yang langganan di sana juga begitu, bukannya itu momen yang indah kalo Masnya nggak lihat itu sebagai rutinitas? Kadang-kadang saya kesel sama pekerjaan saya, tapi kalau dipikir-pikir, saya suka buat konten.”

Jawaban itu, menjadi awal. Awal kedekatan mereka. Keduanya sering bertemu baik di kafe maupun di taman. Mengobrol hal macam-macam dari yang jelas sampai yang tidak jelas. Hingga kedekatan tersebut membuat Halim menyatakan perasaannya yang disambut baik oleh perempuan dengan rambut hitam yang manis itu. Namun, bukannya menjalin hubungan, Halim malah ragu karena perempuan itu berbeda keyakinan.

Selama beberapa bulan, ia memilih untuk memikirkan hal yang harus ia lakukan. Halim tidak ingin menjalin jika harusnya ia akan berpisah, tapi bodohnya ia tidak berkomunikasi pada perempuan yang amat ia sukai itu dan memilih untuk menyendiri. Sara mulai merasa kesal karena Halim seperti menghindar, membuatnya menganggap bahwa laki-laki itu hanya mempermainkan.

Selang enam bulan kemudian, setelah tekadnya kuat. Halim memutuskan untuk pindah keyakinan, ia tidak bisa kehilangan perempuan dengan pemikiran yang ia suka. Meski selama enam bulan mereka tidak berinteraksi, Halim yakin ia bisa memperbaiki keadaan. Hari ini selepas pulang kerja, ia akan menunggu Sara di halte bus, ia akan menyatakan padanya semua hal yang ia alami dan yang sudah ia lakukan. Ia ingin memulai hubungan serius dengannya mulai sekarang.

“Kakakku kemarin habis dilamar.” Telingannya yang peka membuat Halim tidak sengaja mendengar percakapan pelanggan saat ia sedang mengantar minuman dan makanan.

“Kak Sara? Wah! Terus diterima?”

“Terima sih, lihat nih.” Ia tahu ia lancang, Halim seharusnya hanya menaruh minuman lalu kembali ke belakang, tapi ia melirik ke ponsel tersebut yang membuatnya menumpahkan kopi dingin milik pelanggan.

“Mas aduh!” Laki-laki yang sepertinya berada di sekolah menengah atas itu buru-buru berdiri supaya tidak terkena tumpahan. “Haduh Masnya ngelamun ya?”

“Maaf ya saya bersihkan, maaf sekali.” Beruntung, kopi tersebut tidak mengenai pakaian sama sekali. “Saya ganti segera ya.”

Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, saat berjalan membawa kopi itu ke belakang, hatinya bergejolak tidak karuan. Halim, merasa semuanya hancur berantakan. Semua rencana yang ingin ia lakukan, hancur karena perempuan itu sudah dilamar. Dia memang bodoh, dia seharusnya tidak menghindar dari Sara karena pikirannya yang kacau. Lantas bukankah sia-sia ia sudah pindah keyakinan seperti ini jadinya?

“Ini pertama kalinya kamu numpahin kopi, lagi banyak pikiran?” Seniornya berbicara, membuatnya hanya bisa mengangguk. “Karena Sara?”

Mendengar nama itu disebut, hatinya kembali sakit.

“Saya denger kamu pindah keyakinan kemarin ya? Karena Sara?” Kembali, Halim hanya menanggapinya dengan anggukan tidak bersemangat. “Sara nikah sama orang lain?”

“Dilamar dan dia sudah menerima.”

“Kamu ngerasa sedih sekaligus sia-sia sama perjuanganmu yang udah pindah keyakinan?” Halim tidak menanggapi pertanyaan tersebut.

“Halim, nggak ada yang sia-sia, apa kamu udah pelajari kedua agama yang pernah kamu anut dan yang sedang kamu anut sekarang ini? Saya rasa di agama yang sebelumnya juga kamu bukan orang yang taat bukan?” Ujarnya. “Apa kamu nggak berpikir bahwa mungkin kejadian Sara ini membawa kamu ke agama yang sesuai dengan prinsip dan nilai yang kamu cari selama ini? Atau mungkin kejadian ini menuntun kamu sama sesuatu yang lebih indah nanti?”

Halim mendengarkan.

“Halim, agama itu bukan permainan, kamu nggak bisa sebebasnya keluar dan masuk, itu namanya menyepelekan, sebelum kamu memutuskan untuk kembali lagi, pelajari keduanya, bukan untuk Sara tapi untuk dirimu sendiri.” Senior tersebut menepuk bahunya. “Kalau Sara bukan jodohmu, dia nggak akan jadi jodohmu.”

 

Dan lontaran ucapan dari seniornya tersebut membawanya pada pencarian kebenaran keyakinannya, membuatnya mencari nilai dan prinsip kedua agama dan memilih yang harus ia jalani

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 131
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?