Why Don't We Just

Penulis: Pelangi Adelia Primadiani – Universitas Kristen Indonesia

Di bawah terik sinar matahari Alurra berdiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak ia tunggu-tunggu. Sedari dulu, tak jarang ia mendengar cerita atau curhatan dari berbagai orang, mengenai orientasi siswa baru. Hal itulah yang membuatnya semakin cemas. Rasa cemasnya semakin membesar ketika ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi, seperti ia dihukum atau disuruh untuk berdiri di hadapan semua orang. Dalam kegelisahan ini, ia berharap agar hari ini berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan.

Para panitia OSIS yang berdiri di depan menyuruh semua siswa baru untuk mengecek kembali barang-barang yang sudah dibawa agar tidak ada yang tertinggal. Suasana di lapangan terasa tegang namun juga penuh dengan antusiasme, seiring dengan kegiatan orientasi siswa baru yang sedang berlangsung. Para panitia berusaha memberikan petunjuk dan arahan kepada siswa baru, mendorong mereka untuk memastikan bahwa tidak ada barang-barang yang terlupakan sebelum memulai kegiatan selanjutnya. Alurra pun segera membuka tasnya, mengecek barang-barangnya dan memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal.

Why don't we just? Sebuah Karya Sastra dari Majalah Sunday

Tak lama setelahnya, para panitia menyuruh siswa baru untuk tetap berdiri dan mendengarkan petunjuk selanjutnya. Mereka memberikan instruksi tentang tata cara kegiatan orientasi, jadwal pelajaran, dan lokasi ruang kelas. Siswa-siswa baru dengan penuh perhatian dan antusias mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh panitia. Beberapa panitia lainnya juga memberikan informasi penting mengenai fasilitas sekolah, seperti ruang lab, perpustakaan, dan kantin. Mereka menjelaskan dengan rinci peraturan-peraturan yang ada di lingkungan sekolah.

Setelah itu, para siswa baru diminta untuk mendengarkan ucapan-ucapan dari para guru. Para guru dengan penuh semangat menyampaikan kata-kata sambutan, memperkenalkan diri, dan memberikan motivasi kepada siswa baru. Hal tersebut berlangsung hingga siang hari.

Alurra memegang perutnya, ia lupa bahwa ia belum sarapan tadi pagi. Ia kira mereka semua akan dibubarkan saat jam makan siang. Namun ternyata, ia salah. Mereka masih disuruh untuk berdiri dan mendengarkan guru-guru di depan. Alurra meringis, maag gua kambuh, pikirnya.

Setelah beberapa menit memegangi perutnya, ia mendengar suara dari sebelah kanannya. Seorang cowok mengangkat tangannya, “Kak, di sini ada yang sakit!”

Alurra terkejut. Ia merasakan pandangan seluruh siswa baru terpusat padanya. Matanya melirik ke sekelilingnya, dan ia dapat melihat beberapa di antara mereka menunjukkan rasa penasaran terhadap apa yang sedang terjadi. Sadar akan perhatian yang diberikan padanya, Alurra merasa tidak nyaman dan kesal. Ia tidak suka ditatap oleh banyak orang karena menurutnya, hal itu bisa membuatnya merasa seperti di bawah pengawasan seseorang dan ia khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapnya. Ia juga tidak mau ribet, ia hanya ingin diam di barisannya sambil menunggu acara selesai lalu pulang ke rumah dan beristirahat. Dengan begitu ia tidak perlu berurusan dengan banyak orang dan menghindari hal-hal yang tidak menguntungkannya di masa depan. Namun sayangnya, ia melihat salah satu panitia datang ke arah cowok tadi, mengobrol sebentar dengannya dan ia pun dibawa ke pinggir lapangan.

Sesampai di pinggir lapangan, Alurra langsung mengeluarkan amarahnya. 

“Ngapain segala bilang ke panitia sih?” omel Alurra.

Cowok tersebut kebingungan. “Lah bukannya lu sakit? Emang lu mau berdiri di sana sampe pingsan?”

Alurra berdecak, “Gua gak bakal pingsan.”

“Muka lu udah pucet gitu,” ucap cowok tersebut. “Napa sih lu gak terima aja dibaikin?! Tapi terserah lu dah, yang penting gua udah nolongin.”

“Gua gak bakal bilang terima kasih.” Alurra menatap cowok itu tajam.

Cowok tersebut terdiam sebentar, “Lu kalo-“ ucapannya terpotong karena salah satu panitia tadi datang sambil menyodorkan roti dan teh hangat pada Alurra. Alurra kemudian mengambilnya dan berterima kasih.

“Mending lu makan terus istirahat,” lanjut cowok tersebut lalu pergi meninggalkan Alurra.

“My day can’t get any worse,” ucap Alurra lemas sambil menaruh kepalanya di lututnya.

Keesokan harinya, Alurra berusaha sebisa mungkin untuk tidak berpapasan dan bertemu dengan cowok kemarin. Namun sayangnya, takdir tak pernah sebaik itu. Para panitia menempatkan seluruh siswa baru ke dalam kelompok-kelompok, di mana mereka akan bersama-sama menjalankan berbagai tugas. Di dalam kelompoknya, terdapat cowok kemarin yang berdiri sambil menatap Alurra. Sepertinya cowok itu ikut kecewa karena mendapat kelompok yang sama dengan Alurra.

“Kak, bisa ganti kelompok?” tanya Alurra pada salah satu panitia.

“Gak bisa dek, nurut aja sama yang udah dikasih. Jangan protes!” jawab panitia dengan tegas yang membuat Alurra menghembuskan nafasnya. 

“Profesional aja, gak usah kayak anak kecil.” Terdengar suara dari belakangnya.

Alurra menoleh ke belakang dan mendapati cowok kemarin berdiri di sana. “Gua berhak protes kalo ada yang bikin gua gak nyaman. Apalagi kalo orangnya itu lu.”

Teman-teman sekelompok Alurra yang merasa bahwa hawanya sudah panas mencoba untuk menenangkan dan meredakan ketegangan di antara keduanya, “Mendingan kita kenalan aja yuk daripada ribut-ribut gini,” usul salah satu dari mereka. 

“Good idea, gua Teresa,” seorang cewek yang memakai kacamata memperkenalkan diri. “Lu siapa?” tanyanya pada cowok yang tadi beradu mulut dengan Alurra.

“Kairo,” jawabnya. “Salam kenal semua.”

“Halo, Kairo. Gua Sabian,” ucap orang yang tadi mengusulkan mereka untuk saling berkenalan.

Kini giliran Alurra yang memperkenalkan diri, “Gua Alurra, salam kenal.” 

Selanjutnya mereka membahas tugas yang telah diberikan oleh para panitia. Setiap orang dari kelompok bebas untuk mengeluarkan pendapatnya, namun sayangnya pendapat Alurra dengan Kairo selalu berbeda yang mengakibatkan ketegangan dan perdebatan yang tidak kunjung usai di antara mereka berdua. Perdebatan itu terus berlanjut hingga teman-teman sekelompok mereka kelelahan mendengarnya dan berujung menepuk pundak keduanya. Teman-teman sekelompok Alurra juga tak lupa menyuruh keduanya untuk duduk dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Karena hal itu, Alurra dan Kairo mengeluh kecil sambil memberikan tatapan yang sinis ke satu sama lain.

Setelah urusan tugas selesai, seluruh siswa baru langsung membubarkan diri dan pergi menuju kantin. Mereka menambah energi dan menikmati makan siang bersama. Kantin dipenuhi oleh riuhnya percakapan dan tawa dari siswa-siswa baru yang semakin akrab dengan satu sama lain.

Why don't we just - Sebuah Karya Sastra dari Majalah Sunday

Teks terkait gambar, pict by canva.com
(Klik gambar di atas, masukkan keyphrase pada alt text)

Saat kembali ke lapangan, Alurra secara tidak sengaja mendengar Kairo sedang berbincang bersama Sabian.

“Lu sama Alurra awalnya kenapa bisa berantem deh?” tanya Sabian penasaran.

“Gak tau juga. Padahal niat gua cuman nolongin dia doang,” jawab Kairo. 

“Alurra nya emang gak mau ditolongin kali, Kai,” sahut Sabian. Ia merasa bahwa Alurra enggan menerima bantuan dari Kairo, meskipun niat Kairo hanya ingin membantu tanpa ada maksud lain.

Kairo menggelengkan kepalanya dengan ekspresi kecewa. Ia merasa bahwa Alurra tidak menghargai niat baiknya dan menolak bantuannya tanpa alasan yang jelas. “Gua tuh gak bisa diem aja kalo liat ada orang yang kesakitan. Karena dulu adek gua pernah sakit tapi gak pernah bilang-bilang ke gua atau pun ke orang tua gua. Waktu penyakitnya udah parah, adik gua malah baru bilang dan sayangnya penyakitnya itu udah gak bisa disembuhin.”

Alurra yang mendengar penjelasan Kairo langsung menunduk dan merasa bersalah. Dia menyadari bahwa sikapnya yang menolak pertolongan dari Kairo mungkin telah menyakiti perasaan Kairo. Rasa bersalah menguasai pikiran Alurra, dan dia merasa menyesal atas sikapnya. Alhasil ketika kegiatan selanjutnya berlangsung dan saat Kairo kembali mengomel pada Alurra, Alurra hanya diam saja dan tidak membalas. Alurra mengabaikannya. Hal itu otomatis membuat Kairo bingung dan khawatir. Kairo takut kalo Alurra sakit lagi seperti kemarin. Maka dari itu sepanjang kegiatan yang berlangsung, Kairo terus-terusan berdiri di samping Alurra.

Keesokan harinya adalah hari terakhir orientasi siswa baru, hari yang ditunggu-tunggu sekaligus penuh haru karena mereka akan meninggalkan masa orientasi dan memulai perjalanan mereka sebagai siswa sekolah yang sebenarnya.

 Dalam acara penutupan orientasi, para panitia meminta setiap kelompok untuk memberikan sepatah kata untuk sesama anggota kelompoknya dan secara kebetulan, Kairo menjadi pasangan Alurra. Otomatis seluruh teman-teman sekelompok dan para panitia langsung mengawasi keduanya karena sepanjang orientasi, mereka berdua seringkali bertengkar. Sedangkan kelompok lainnya mencuri-curi dengar dan menyiapkan posisi karena menurut mereka pasti kejadian seru akan terjadi.

Dalam keheningan sejenak, Alurra memulai, “Gua mau minta maaf karena udah jahat ke lu di hari pertama orientasi, padahal waktu itu lu cuman mau nolongin gua.” Alurra menundukkan kepalanya, “Gua gak bisa kalo jadi pusat perhatian banyak orang, makanya gua marah sama lu.”

Mendengar hal itu, Kairo dengan cepat langsung berdiri menutupi Alurra dari pandangan orang-orang di sekitarnya. Alurra yang melihat hal itu terkejut dan tersenyum kecil karena menurutnya Kairo sangat baik padanya. 

Kairo yang melihat senyuman Alurra pun ikut tersenyum, “Gua juga minta maaf karena udah bikin lu marah-marah di tiga hari ini,” kata Kairo dengan tulus. “Sebenernya seru juga sih bikin lu marah, karena muka lu lucu banget kalo lagi ngomel-ngomel.”

Wajah Alurra langsung memerah dan ia juga bisa merasakan tawa riang dari teman-teman sekelompoknya yang menyaksikan momen tersebut. “Bisaan banget lu, Kai,” ucap Tere disela tawanya.

“Gua serius ini,” ucap Kairo. “Daripada berantem dan adu mulut terus, why don’t we just be friends?”

Alurra yang terkejut dengan ucapan Kairo, membalas tatapannya sambil menjawab dengan lembut, “Boleh, lagian hidup ini terlalu singkat buat debatan yang gak jelas, kan?” suara Alurra penuh dengan kehangatan, mengisyaratkan bahwa ia juga setuju dan siap untuk memulai hubungan pertemanan yang baik dengan Kairo.

 

Kira-kira bakalan gimana hubungan pertemanan mereka ke depannya ya?

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 265
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?