Penulis: Hanifah Nur – PoliMedia Jakarta
Editor: Fidya Damayanti – Universitas Negeri Jakarta
Citra Mendatangi Sang Ibu, pict by bing.com
Sehari setelah mengikuti webinar pendakian gunung, Rara memberanikan diri untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya. Pertama, ia akan meminta izin kepada Mama, karena Papa sedang sibuk bekerja.
Melihat Mama yang sedang membuat kue, Rara menghampiri.
“Mmm.. wangii. Bikin kue apa ma? Rara bantuin ga?”
“Kue sagu keju, Ra. Gak usah, telat kamu nanyanya,” sahut Mama sambil memasukkan loyang ke dalam oven.
“Hehe maaf. Ma, Papa pernah ikut pendakian gunung ya katanya? Bener gak sih itu?”
“Kata siapa?”
“Kata Papa waktu itu. Pas masih muda, sebelum kenal Mama.”
“Oh iya betul. Papa pernah cerita ke Mama. Kenapa emang, Ra?”
“Naik gunung apa? Mama tau gak?”
“Waduh Mama lupa. Coba kamu tanya aja sama Papa. Kenapa kamu nanya-nanya soal itu?”
“Mm.. jadi gini Ma. Waktu nongkrong sama temen-temen abang, mereka mau liburan gitu mendaki gunung ke gunung Gede. Aku mau ikut, boleh ya, Ma?”
Teruntuk urusan izin ini Rara sudah berbicara dengan sang kakak agar ia dibolehkan untuk ikut. Tentunya kakaknya akan membujuk dan mengusahakan. Sebelum Rara izin kepada sang ibunda, kakaknya sudah terlebih dulu meminta izin untuk dirinya sendiri dan bertanya apakah Rara boleh ikut jika sang kakak mengajaknya. Namun hal tersebut belum dijawab oleh Mama.
“Ikut pendakian gunung? Kamu gak lihat berita-berita di tv kemarin, Ra? Mama takut terjadi hal-hal yang gak diinginkan,” jawab Mama khawatir.
“Iya Ma. Kan ada abang Farhan. Aku juga kemarin ikut webinar itu sama abang dengerin baik-baik protokol dan panduan mendaki. Boleh ya Ma?”
“Mana panggil abang kamu dulu.”
Farhan kemudian dipanggil menghadap Mama tentang persoalan ini. Farhan pun bertanya.
“Ada apa, Ma?”
“Itu adik mu mau ikut mendaki gunung. Dimana itu gunung Gede? Jauh gak? Sama siapa aja kamu perginya? Mama takut seperti berita-berita di tv, Han.”
“Ma, teman Aan ada yang berpengalaman mendaki gunung. Kan Aan juga kemarin ikut webinar pendakian itu. Gunung Gede di Bogor Ma. Aan pergi sama 3 teman Aan si Diaz, Reza, dan Dito,” jawab Farhan menjelaskan.
“Oiya, untuk si Rara, boleh ikut kan Ma? Kan ada Aan yang ngejaga dia,” sahutnya lagi.
“Tapi kan kamu belum pernah, Han. Kamu kan laki-laki, nah adikmu ini perempuan.”
“Ya terus kenapa Ma kalau aku perempuan? Aku juga bisa ikut mendaki. Dulu kan eskul ku taekwondo,” sahut Rara yang tidak terima.
“Tapi kan itu dulu, Ra. Nanti Mama bicara dulu sama Papa,” ujar Mama.
Rara dan Farhan hanya terdiam di hadapan Mamanya. Setelah itu Rara bergegas masuk ke kamarnya. Diikuti dengan Farhan yang paham kalau adiknya kesal. Ia mengetuk pintu kamar adiknya tetapi Rara tidak menjawab. Ia pun masuk dan menenangkan Rara agar bisa mengikuti pendakian tersebut.
oooo
Ruang tv menjadi ramai karena semua keluarga berkumpul. Papa yang sedang mengambil cuti selama tiga hari sangat senang berkegiatan dengan anak-anaknya di rumah. Rara dan Farhan pun terkadang meminta untuk pergi makan di luar atau pesan makanan atau minuman melalui aplikasi ojek online. Saat seperti ini menjadi kesempatan bagi Rara untuk meminta izin kepada Papa.
“Paa. Tumben ambil cuti, kenapa tuu?” tanya Rara penasaran.
“Iya, Papa mau berlama-lama ketemu sama anak-anak Papa. Kan Papa sibuk terus dan jarang ketemu kalian,” jawabnya sambil tersenyum.
“Mmm… masa sih Pa? ehehe”
“Rara mau tanya. Papa pernah mendaki gunung ya dulu?”
“Iya, kenapa memangnya?”
“Ke gunung apa?”
“Gunung Cikuray, Ra.”
Rara yang penasaran langsung membuka ponsel dan mencari gunung Cikuray.
“Yang ini, Pa? wahh bagus juga ya. Rara ingin deh.”
“Iya yang itu. Rara mau mendaki gunung? Sama siapa?”
“Mau bangeetttt. Sama abang dan teman-temannya. Boleh ya Pa?”
“Gak takut kamu, Ra?”
“Enggak Pa. beberapa hari lalu aku ikut webinar pendakian. Terus aku juga bakal belajar-belajar dulu sebelum mendaki. Boleh ya..”
“Kamu sudah tanya Mama belum?”
“Sudah, tapi Mama bilang tanya Papa. Boleh ya Rara ikut. Kan abang Farhan juga ikut.”
“Ra, mungkin Mama berat melepasmu ke sana. Bisa ya kamu jaga diri?”
“Iya aku paham. Semoga bisa Pa, doakan aku ya,” pinta Rara.
“Iya pasti Papa doakan,” jawabnya tenang.
Mama yang mendengar obrolan tersebut menyimpan kekhawatiran. Ia harus memperhatikan persiapan anak-anaknya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Grup chat
Bang Diaz: Ra, gimana udah ada kabar belum nih?
Bang Reza: Eh iya gimana kelanjutannya
Rara: Akhirnyaa boleh:”)
Bang Dito: Asik nihh uhuy..
Bang Farhan: Seneng tu dibolehin.. Mendaki gunung lewati lembah
Bang Diaz: Alhamdulillah, berarti mulai minggu ini kita olahraga rutin ya
Rara: Okesip. Sambil nyicil ngumpulin alat kan?
Bang Reza: Yoi, nanti gue cari info mendaki gunung gede
Rara: Jangan lupa kita pelajarin yang waktu itu dikasih tau di webinar
Bang Dito: Iya nanti gue tanya temen-temen gue. Bantuin gue Han @Bang Farhan
Bang Farhan: Sip, semoga lancar! Aamiin
oooo
Papa yang masih mempunyai waktu cuti dua hari menggunakan kesempatan itu. Diajaknya Mama makan di luar agar lebih leluasa untuk membicarakan rencana liburan anak-anaknya. Mereka khawatir betul untuk mengizinkan anak-anak bepergian saat kondisi pandemi ini. Tetapi mereka percaya Rara dan Farhan bisa menjaga diri dan selalu berdoa.
Tiiinnn, tinn, tiinn suara klakson motor yang bersahutan memecahkan lamunan Papa.
“Pa, lampu hijau. Kamu melamun?”
Papa tidak bergeming. Ia kembali sadar dan segera menancap gas.
Saat sampai Papa hanya berkata, “kita harus percaya sama mereka, tetap mendoakan, dan dukung mereka.”
Mama hanya mengangguk paham. Sebelum pulang mereka membeli makanan kesukaan anak-anaknya, kebab.
Derit pintu dan suara langkah kaki semakin jelas. Segera Rara keluar dari kamarnya.
“Eh, udah pulang. Bawa makanan buat aku gak?”
“Bawa sayang, itu di meja makan. Bilang Farhan suru kesini atau kamu yang anterin ke kamarnya.”
“Ih gak mau. Biar dia aja ke sini.”
“Bang Farhaannn, sini ada kebab, buruann. Nanti gue abisin nih,” teriak Rara.
“Eh kok teriak gitu kamu, Ra. Samperin aja sana.”
“Gak ah Ma, gak mau. Nah tu keluar kamar kan dia.”
“Iya iya yasudah.”
“Berisik lo, gue lagi ngegame juga.”
“Yaudah buat gue aja sini kebabnya,” dengan cepat tangannya menyambar kebab itu.
“Ehh. Balikin ah, Ra,” pinta Farhan dengan ancang-ancang merebut kembali.
“Kok malah debat si kalian. Pakai bahasa yang betul.”
“Iya Mamakuu,” sahut Farhan.
Rara dan Farhan kembali masuk ke kamar masing-masing. Meninggalkan kedua orang tuanya di depan televisi. Mereka berdua kembali membahas tentang pendakian yang akan dilakukan anak-anaknya.
“Kita lihat juga keseriusan mereka ya, Pa. Karena kan gak bisa asal-asalan untuk mendaki.”
“Iya sayang.”
Malam Sabtu ini grup kembali ada percakapan.
Bang Reza: Uy uyy
Bang Dito: Kenapa ja?
Bang Reza: Lo pada udah nyiapin apa aja?
Bang Diaz: Alat2 yang kecil gitu. Kaya pisau, sekop
Bang Dito: Alat yang ada di rumah dulu aja kaya alat makan, kalo lo? @Bang Reza
Bang Reza: Gue gabeda jauh dari kalian si. Eh gue dapet info dari temen gue nih list barang untuk mendaki. Temen gue mapala.
Bang Diaz: Boleh tu dishare ke sini listnya.
Bang Reza: Yoi, eh ni abang adek pada kemana gak muncul?
Satu jam kemudian
Bang Farhan: Wadu, ada obrolan apa nih? Tadi gue nganter nyokap
Bang Reza: Scroll aja lah
Bang Farhan: Oh alat, gue belum nyiapin apa-apa hehe. Giliran gue muncul, lo semua pada diem.
Tidak ada yang merespon pesan Farhan, ia pun tertidur. Sementara Rara sudah berada di alam mimpi. Kemudian grup ramai kembali dengan pembahasan ini dan itu. Mulai dari pacar-pacar mereka yang ikut tetapi mereka tidak mau karena mereka pikir akan merepotkan dan cukup sulit untuk mencari alat-alatnya, freelance Diaz yang sedang berhenti karena ada salah satu pekerja yang bermasalah, bantu-bantu desain feeds Instagram kakaknya untuk berjualan, dan masih banyak lagi.
Mengecek Notifikasi Ponsel, pict by bing.com
Bangun-bangun Rara sudah disuguhkan banyaknya notifikasi di grup chat pendakian. Kamu mau tahu nama grupnya apa? Mendaki gunung cihuy. Begitulah kira-kira. Grup itu dinamai oleh Dito, laki-laki yang paling iseng setelah Farhan. Terdapat 120 pesan di grup itu.
Sambil menurunkan selimut dan berusaha membuka mata yang berat Rara meraih ponselnya.
“Rame banget ini grup.” Gumamnya di dalam hati.
Seperti biasa, ia melakukan kegiatan rutinnya yaitu mencuci muka dan menggosok gigi. Iya, Rara tidak mandi. Mandinya nanti siang, mengumpulkan niat dulu katanya. Hidangan sudah siap di meja makan. Aroma yang menyelusup masuk ke kamar Rara dan Farhan membuat mereka segera menuju aroma itu.
“Anak gadis bukannya mandi pagi-pagi. Beberes rumah,” ujar Mama.
“Trus bang Farhan boleh gitu mandi siang?” jawab Rara tidak terima. Tetapi nyatanya seorang Ibu selalu benar.
“Sudah, Ra. Lebih baik kamu makan,” sahut Papa.
Rara hanya diam dan bergegas ke kamar setelah sarapan. Ia membuka grup chat pendakian itu.
Rara: Ngumpul yuk hari ini
Bang Reza: Nah, yang dicari muncul nih
Rara: Tapi di sini aja
Bang Dito: Yah gue kira di kafe lagi. Biar bisa liat cewe-cewe
Bang Farhan: Pikiran lo cewe mulu to
Rara: Ayo lah siang ini jam 1, gimana? Biar Mama kenal lo pada
Bang Diaz: Gue gabisa nih, sorry ya
Rara: Yauda bang
Bang Reza: Yauda oke gaskenn
Rara: Bawain cemilan ya bang abang, hehe
Bang Dito: Hm.. ada maunye lo ya
Bang Farhan: Sopan lo Ra, hadeh
Beberapa jam setelah itu teman-teman Farhan datang satu per satu.
“Katanya ada 4 Ra? Ini kok 3?” tanya Mama dari dapur.
“Oiya Ma, yang 1 lagi gak bisa dateng katanya.”
Mereka berkumpul di kamar Farhan yang cukup luas. Digelarnya karpet dan mereka pun duduk lesehan.
“Eh olahraga mulai kapan?” tanya Rara.
“Besok aja, kan Minggu tuh,” jawab Dito.
“Oke bisa. Jam 6 ya,” sahut Reza.
“Haha bangun pagi lo,” sahut Rara kepada Farhan.
Farhan hanya melirik adiknya itu dan tidak membalas apapun.
Setelah itu mereka membicarakan list barang-barang yang dikirim oleh temannya Reza. Mereka melihat dengan saksama. Ada salah satu barang namanya survival kit. Ternyata survival kit merupakan barang-barang yang dibutuhkan jika dalam keadaan survive di hutan. Cukup banyak barang-barangnya seperti pisau, cermin, garam, parafin, tali pengaman (webbing), aneka jarum, lilin, korek, dan masih banyak lagi. Mereka berpikir barang-barang tersebut dapat dikumpulkan satu per satu karena mudah ditemukan dalam sehari-hari. Kemudian mereka mencari informasi pendakian gunung Gede.
“Han, di sini ada wifi kan ya? Password dong hehe,” tanya Dito.
“Luwak white coffee,” jawab Farhan meledek.
“Nyaman di lambung. Eh gue serius ini, kuota abis,” sambil menyodorkan ponselnya ke Farhan.
Rara dan Reza hanya tertawa melihat mereka. Saat sedang mengobrol, Rara teringat sesuatu dan bergegas ke kamarnya. Lalu ia datang membawa laptop. Ia ingin menunjukkan materi yang dibagikan saat webinar.
“Mau belajar yang mana dulu? Kan ada SOP, PPGD, Survival, Navigasi. Atau kita baca masing-masing aja dulu. Terus cari info-infonya dari google juga.”
Baru ditinggal sebentar mereka sudah asyik bermain playstasion (PS) dan tidak menghiraukan pertanyaan Rara.
“Eh kalian! Gue nanya ini wey. Kecilin dikit volumenya,” teriak Rara.
Mereka bertiga kaget dengan suara Rara yang tidak melengking seperti perempuan kebanyakan.
“I-Iya apa, Ra? ujar Reza.
“Nih liat. Ada materi SOP, PPGD, Survival, Navigasi. Belajar yang mana? Atau baca masing-masing dulu? Terus cari infonya dari google juga.”
“Kayaknya SOP dulu deh itu standar-standar untuk mendaki kan?” ujar Dito.
“Iya bener bang. Ada olahraganya juga deh kayaknya.”
“Nah bagus tuh, besok kan kita olahraga,” sahut Reza.
Farhan dan Rara hanya senyum dan mengangkat ibu jarinya menyisyaratkan sip. Mereka membahas SOP satu per satu. Jika ada yang kurang jelas mereka langsung mencari di internet. Mereka merekam baik-baik materi SOP di kepala mereka. Di tengah pembahasan tiba-tiba Dito menyeletuk.
“Gue kira mendaki gunung gampang, soalnya banyak banget orang yang pada mendaki sehingga mendaki gunung menjadi sebuah tren gitu.”
Rara, Farhan, dan Reza hanya menatap kepada Dito dengan tatapan yang menyiratkan kalau mereka sedang berpikir juga.
oooo
Berolahraga Bersama, pict by bing.com
Rara sudah terbangun dari tidurnya. Ia bergegas untuk mandi dan bersiap untuk olahraga hari ini. Kali ini ia, Farhan, dan teman-temanya akan melakukan jogging selama 15 menit, pushup, situp, dan yang lainnya. Tidak lupa mereka melakukan pemanasan terlebih dahulu. Mereka berolahraga di perumahan Rara. Rara yang sudah lama tidak berolahraga mulai merasakan hal yang tidak enak, napasnya terengah-engah. Di menit ke-10 ia mulai merasakan itu sehingga ia tertinggal jauh dari yang lain. Farhan yang sadar akan hal itu kembali mundur menghampiri adiknya.
“Gimana, Ra? Masih kuat gak?” tanya Farhan.
“M-masih ko bang. Tapi kayaknya pelan-pelan.”
“Yaudah pelan-pelan, sedikit lagi.”
Tiba di menit ke-15 mereka terhenti di salah satu lapangan perumahan. Mereka melakukan push up, sit up, back up, dan sebagainya. Lalu melakukan pendinginan. Mereka kembali berjalan ke rumah Rara dan beristirahat di sana. Dito yang melihat Rara kurang bisa menyeimbangi langsung memulai pembicaraan.
“Eh, ini kayaknya mesti diatur nih temponya. Si Rara kelihatan capek banget. Bener-bener udah lama gak olahraga lo, Ra?”
“Boleh tuh,” sahut Reza dan Diaz.
“Iya bang. Males keluar rumah,” jawabnya dengan cengiran khasnya.
“Yaudah next kita atur aja.”
Sambil melepas lelah mereka melanjutkan pembahasan teknis untuk olahraga berikutnya. Lari akan tetap pada durasi 15 menit menggunakan tempo yang tepat, harus bisa mengatur napas agar tidak terengah-engah, melakukan pemanasan dan pendinginan dengan benar. Itu baru hari pertama olahraga. Mereka yakin masalah seperti itu akan teratasi. Mereka kembali menjadwalkan untuk olahraga setiap Kamis sore dan Sabtu pagi. Bagaimana dengan persiapan materi yang harus diketahui oleh mereka? Mereka akan melakukannya setiap Selasa dan Kamis sebelum olahraga.
(Berlanjut ke bagian 3)
*****
Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.